MAKALAH
“KASUS KECURANGAN PAJAK”
OLEH KELOMPOK 3 :
1.
HAZELELPONI DAUD
2.
HUMAIRA
3.
SULKIYANA
4.
RISWAN
5.
JULIUS P
6.
WAHIDIN HUSODO
ADMINISTRASI KEUANGAN 67
POLITEKNIK INFORMATIKA NASIONAL
MAKASSAR
TAHUN PENDIDIKAN 2016 / 2017
KATA PENGANTAR
Puji syukur
kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Atas rahmat-Nya yang telah dilimpahkan
kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul“Kasus
Kecurangan Pajak” Yang merupakan salah satu tugas kelompok yang
diberikan Dosen mata kuliah “Akuntansi Perpajakan” di semester
IV.
Dalam
menyelesaikan makalah ini. Kelompok kami banyak mendapat bantuan dan masukan
dari berbagai pihak. Oleh karena itu,dalam kesempatan ini kami ingin
menyampaikan terima kasih kepada :
1. Bapak Pajaruddin
Ibrahim, SE., M.Acc AK Selaku Dosen mata kuliah yang telah memberikan
tugas mengenai “Kasus Kecurangan Pajak” sehingga pengetahuan
kami makin bertambah dan hal ini sangat bermanfaat bagi kami di kemudian hari.
2. Pihak-pihak
yag tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah turut membantu sehingga
makalah ini dapat dislesaikan dengan baik dan tepat pada waktuya.
Kami menyadari
bahwa penyusunan makah ini sangat jauh dari kesampurnaan, namun demikian telah
memberikan manfaat bagi kami . Akhir kata berharap makalah ini dapat bermanfaat
bagi kita semua. Kritik dan saran yang bersifat membangun akan kami terima
dengan senang hati.
Makassar, Mei
2017
Kelompok III
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ....................................................................................... i
Daftar Isi ................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang ............................................................................ 1
2.
Rumusan Masalah ...................................................................... 1
3.
Tujuan ......................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
1.
Kasus
Gayus Tambunan ............................................................. 3
2.
Kasus
Dhana Widyatmika .......................................................... 4
3.
Kasus
Bahasyim Assife .............................................................. 6
4.
Kasus PT Asian Agri Group ....................................................... 7
5.
Kasus
Herry Setiadji, Indarto Catur Nugroho
dan Slamet Riyana ..................................................................... 11
6. Kasus Penunggakan Pembayaran Pajak
di Kota Bandung ........................................................................ 11
7.
Kasus
Dugaan Suap Pejabat Ditjen Pajak .................................. 12
8.
Kasus Tommy Hendratno .......................................................... 12
9.
Kasus Pargono Riyadi ................................................................ 13
10. Kasus
Wilmar Group .................................................................. 13
11. Kasus Tindak Pidana
Perpajakan Yang Diduga
Dilakukan Dua Wakil Ketua Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR),
Fadli Zon Dan Fahri
Hamzah ..................................................... 14
BAB III PENUTUP
1.
Kesimpulan ................................................................................. 15
2.
Saran ........................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 16
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Pajak merupakan sumber penerimaan Negara
disamping penerimaan dari sumber migas dan non migas. Dengan posisi yang
sedemikian penting itu pajak merupakan penerimaan strategis yang harus dikelola
dengan baik oleh negara. Dalam struktur keuangan Negara tugas dan fungsi
penerimaan pajak dijalankan oleh Direktorat Jenderal Pajak dibawah Departemen
Keuangan Republik Indonesia.Dari tahun ke tahun telah banyak dilakukan berbagai
kebijakan untuk meningkatkan penerimaan pajak sebagai sumber penerimaan Negara.
Kebijakan tersebut dapat dilakukan melalui penyempurnaan undang-undang,
penerbitan peraturan perundang-undangan baru dibidang perpajakan, guna
meningkatkan kepatuhan wajib pajak maupun menggali sumber hukum
pajak lainnya Berbagai upaya yang dilakukan belum menunjukkan perubahan yang
signifikan bagi penerimaan Negara. Bahkan kondisi ini makin diperparah pada
tahun 1997 dengan terjadinya krisis ekonomi bahkan krisis multi dimensi yang
sampai sekarang ini belum terselesaikan di Indonesia.
Pada
umumnya dinegara berkembang, penerimaan pajaknya yang terbesar berasal dari
pajak tidak langsung, Hal ini disebabkan Negara berkembang golongan
berpenghasilan tinggi lebih rendah persentasenya.namun dalam hal ini masih saja
banyak terjadi pengusaha yang menghindarkan diri dari pajak atau dalam arti
lainnya melakukan penyelewengan pajak dimana penghindaran diri dari pajak ini
bisa saja di sebut dengan pelanggaran undang undang dan resikonya dapat
merugikan negara selain itu juga masih banyak terjadi kasus penggelapan pajak
yang masih bisa lolos dari jerat hukum dan mengambang kasusnya dikarenakan
aparat penegak hukum kita tidak tegas dan sungguh-sungguh dalam menegakkan
keadilan malah berusaha menyiasati hukum dengan segala cara tidak lain tidak
bukan tujuannya adalah untuk melindungi tersangka mafia pajak. Dalam hal ini
saya akan membahas mengenai salah kasus penggelapan pajak yang dilakukan oleh Gayus Tambunan, DhanaWidyatmika, Bahasyim
Assife, PT Asian
Agri Group, Herry Setiadji, Indarto Catur
Nugroho dan Slamet Riyana, Penunggakan
Pembayaran Pajak di Kota Bandung, Dugaan Suap Pejabat Ditjen Pajak, Tommy Hendratno, Pargono
Riyadi, Wilmar Group, Tindak Pidana Perpajakan Yang Diduga Dilakukan Dua Wakil
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR),Fadli Zon Dan Fahri Hamzah.
2. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
Kasus Kecurangan Pajak yang dilakukan oleh Gayus Tambunan?
2.
Bagaimna
Kasus Kecurangan Pajak yang dilakukan oleh Dhana Widyatmika?
3.
Bagaimana
Kasus Kecurangan Pajak yang dilakukan oleh Bahasyim Assife ?
4.
Bagaimana Kasus Kecurangan Pajak yang
dilakukan oleh PT Asian Agri Group ?
5. Bagaimana
Kasus Kecurangan Pajak yang dilakukan oleh Herry Setiadji, Indarto Catur
Nugroho dan Slamet Riyana ?
6.
Bagaimana
Kasus Kecurangan Pajak Penunggakan Pembayaran Pajak di Kota Bandung ?
7.
Bagaimana
Kasus Kecurangan Pajak Dugaan Suap Pejabat Ditjen Pajak?
8.
Bagaimana Kasus Kecurangan Pajak yang dilakukan oleh Tommy
Hendratno?
9.
Bagaimana Kasus Kecurangan Pajak yang dilakukan oleh
Pargono Riyadi ?
10.
Bagaimana Kasus Kecurangan Pajak yang dilakukan oleh Wilmar
Group ?
11.
Bagaimana Kasus Kecurangan Pajak Tindak Pidana Perpajakan
yang Diduga Dilakukan Dua Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Fadli Zon
Dan Fahri Hamzah ?
3. Tujuan
1.
Untuk
Mengetahui Kasus Kecurangan Pajak yang dilakukan oleh Gayus Tambunan
2.
Untuk
Mengetahui Kasus Kecurangan Pajak yang dilakukan oleh Dhana Widyatmika
3.
Untuk
Mengetahui Kasus Kecurangan Pajak yang dilakukan oleh Bahasyim Assife
4.
Untuk
Mengetahui Kasus
Kecurangan Pajak yang dilakukan oleh PT
Asian Agri Group
5. Untuk
Mengetahui Kasus Kecurangan Pajak yang
dilakukan oleh Herry Setiadji, Indarto Catur Nugroho dan Slamet Riyana
6. Untuk
Mengetahui Kasus Kecurangan Pajak Penunggakan
Pembayaran Pajak di Kota Bandung ?
7.
Untuk
Mengetahui Kasus Kecurangan Pajak Dugaan Suap
Pejabat Ditjen Pajak
8.
Untuk
Mengetahui Kasus Kecurangan Pajak
yang dilakukan oleh Tommy Hendratno
9.
Untuk
Mengetahui Kasus Kecurangan Pajak yang dilakukan oleh Pargono Riyadi
10.
Untuk
Mengetahui Kasus Kecurangan Pajak yang dilakukan oleh Wilmar Group
11. Untuk
Mengetahui Kasus Kecurangan Pajak Tindak Pidana Perpajakan
Yang Diduga Dilakukan Dua Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Fadli Zon
Dan Fahri Hamzah
BAB II
PEMBAHASAN
Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara
berdasarkan undang-undang dengan tiada mendapat balas jasa secara langsung. Lembaga Pemerintah yang mengelola
perpajakan negara di Indonesia adalah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang
merupakan salah satu direktorat jenderal yang ada di bawah naungan Kementerian
Keuangan Republik Indonesia. Dalam
hal perpajakan, ada beberapa kasus yang pernah terjadi di Indonesia.
Diantaranya adalah :
1. Kasus
Gayus Tambunan
Gayus
Halomoan Partahanan Tambunan adalah bekas pegawai negeri sipil di DJP Kemkeu.
Ia dipenjara karena melakukan penyalahgunaan wewenang, menerima suap dari wajib
pajak, dan pidana umum lainnya. Gayus merupakan PNS golongan IIIA namun
disebut-sebut memiliki harta hingga puluhan miliar rupiah.
Gayus
dinyatakan terbukti bersalah menerima suap senilai Rp 925 juta dari Roberto Santonius, konsultan
PT Metropolitan Retailmart terkait kepengurusan keberatan pajak perusahaan
tersebut.
Gayus
juga lalai menangani keberatan pajak PT Surya Alam Tunggal (SAT) yang berakibat
pada kerugian negara sebesar Rp 570 juta. Gayus juga terlibat dalam kasus
penggelapan pajak PT Megah Citra Raya.
Gayus
terbukti bersalah menerima gratifikasi saat menjabat petugas penelaah keberatan
pajak di Ditjen Pajak. Gayus terbukti menerima gratifikasi sebesar US$ 659.800
dan Sin$ 9,6 juta.
Gayus
juga dijerat dengan UU Tindak Pidana Pencucian Uang. Selama persidangan, gayus
gagal membuktikan kekayaannya berupa uang RP 925 juta, US$ 3,5 juta, US$
659.800, Sin$ 9,6 juta dan 31 keping logam mulai masng-masing 100 gram bukan
berasal dari hasil tindak pidana.
Dalam
perkembangan selanjutnya Gayus sempat melarikan diri ke Singapura beserta anak
istrinya sebelum dijemput kembali oleh Satgas Mafia Hukum di Singapura. Kasus
Gayus mencoreng reformasi Kementerian Keuangan Republik Indonesia yang sudah
digulirkan Sri Mulyani dan menghancurkan citra aparat perpajakan Indonesia.
Dalam kasus penggelapan pajak oleh pejabat pajak “ Gayus” tidak ditemukan sama
sekali integritas yang tinggi, dalam hal kejujuran pejabat tersebut telah
membohongi publik, dengan menggunakan uang yang
seharusnya bukan miliknya.
v Mereka yang terkait kasus Gayus
a.
12
Pegawai Dirjen Pajak termasuk seorang direktur, yaitu Bambang Heru Ismiarso dicopot dari jabatannya dan
diperiksa.
b. 2
orang Petinggi Kepolisian , Brigjen Pol Edmon Ilyas dan Brigjen Pol Radja Erizman dicopot dari jabatanya dan
diperiksa.
g.
Lambertus
(staf Haposan)
h.
Alif
Kuncoro
i.
Beberapa
aparat kejaksaan diperiksa
j. Jaksa Cirus Sinaga dicopot dari jabatannya
sebagai Asisten Tindak Pidana Khusus Kejati Jawa Tengah, karena melanggar kode
etik penanganan perkara Gayus HP Tambunan.
k. Jaksa
Poltak Manulang dicopot dari jabatannya sebagai Direktur Pra Penuntutan
(Pratut) Kejagung
v
Bukti – bukti
Polri telah melakukan penggeledahan
terhadap rumah terdakwa mafia hukum, Gayus Tambunan terkait pemalsuan paspor
atas nama Sony Laksono. Hasil pemeriksaan rumah Gayus di daerah Kelapa Gading, penyidik telah menemukan berbagai
barang bukti perjalanan ke beberapa negara.
"Penyidik telah menemukan berbagai
barang bukti yang diperlukan sekaligus dalam konteks pembuktian," kata
Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri, Kombes Pol Boy Rafli Amar di
Mabes Polri, Jakarta, Jumat 14 Januari 2011.
Boy pun menyebutkan barang bukti yang sudah disita Polri
tersebut, antara lain boarding pass dari China Air yang digunakan
Gayus ketika pulang dari Makau, boarding pass Air Asia atas nama istri Gayus, Milana Anggraeni.
Selain Milana, untuk melengkapi keterangan yang dibutuhkan,
penyidik juga berharap bisa memperoleh keterangan dari Devina, penulis surat
pembaca Harian Kompas yang menguak kepergian Gayus ke luar negeri.
Dengan menggunakan paspor atas nama Sony Laksono, Gayus
pelesir ke berbagai tempat. Dari manifes, terdapat seseorang yang berinisial
Sony bepergian ke luar negeri dengan pesawat Mandala pada 24 September dengan tujuan Makau. Pada 30 September, dengan menggunakan pesawat Air Asia tujuan Singapura, Sony Laksono duduk di bangku 11F.
2. Kasus
Dhana Widyatmika
Sosok Dhana Widyatmika, seorang
mantan PNS Ditjen Pajak, yang menjadi tersangka kasus korupsi yang telah
ditetapkan oleh kejaksaan agung yang pemberitaannya kini mengemuka di media
massa. Dhana Widyatmika disebut-sebut sebagai The Next Gayus, karena memiliki
rekening dibeberapa bank yang jumlahnya miliaran. Identitas Dhana Widyatmika
sendiri terungkap dari informasi Kabag Humas dan TU Ditjen Imigrasi Maryoto
Sumadi. Ketika wartawan detikFinance mengkonfirmasikan mengenai identitas yang
sebelumnya disingkat dengan DW, maka Maryoto Sumadi membenarkan nama Dhana
Widyatmika masuk dalam daftar cekal di imigrasi.
Berdasarkan laporan yang dilansir
oleh DetikFinance, menyebutkan bahwa Dhana Widyatmika merupakan lulusan Sekolah
Tinggi Akuntansi Negara (STAN). Setelah melanjutkan program sarjana, dia
meneruskan studi pasca sarjana di Program Studi Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu
Sosial dan Politik Universitas Indonesia (FISIP UI). Setelah lulus STAN,
Dhana mulai bekerja di Ditjen Pajak pada tahun 1996. Karirnya berkembang terus.
Pada 2011, berdasarkan Surat Keputusan (SK) Direktur Jenderal Pajak (Dirjen
Pajak) Dhana Widyatmika menjabat sebagai Account Representative pada Kantor
Pelayanan Pajak Penanaman Modal Asing Enam.
Dhana Widyatmika merupakan PNS
golongan III/c dengan pangkat penata. Ia kini berusia 37 tahun. Direktur
Jenderal Pajak (Dirjen Pajak) Fuad Rahmany mengungkapkan ‘The Next Gayus’ ini
tidak lagi menjadi pegawai pajak. Karena, atas keinginannya sendiri Dhana
Widyatmika ini meminta pindah ke instansi lain. Mantan pegawai Direktorat
Jenderal Pajak Dhana Widyatmika dituntut hukuman 12 tahun penjara untuk tiga
perbuatan pidana oleh jaksa penuntut umum (JPU) Kejaksaan Agung. Selain hukuman
penjara, majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi diminta menjatuhi
hukuman membayar denda Rp 1 miliar dan subsider kurungan enam bulan.
Dhana dianggap terbukti melakukan tiga perbuatan pidana.
Pertama, tindak pidana korupsi
menerima gratifikasi berupa uang senilai Rp 2,75 miliar. Perbuatan pertama
Dhana tersebut diuraikan jaksa dalam dakwaan primer dan subsider. Dakwaan
primer memuat Pasal 12 B ayat 1 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi juncto Pasal 65 ayat 1 KUHP, sedangkan dakwaan subsidernya memuat Pasal
11 undang-undang yang sama. Menurut jaksa, pada 11 Januari 2006, Dhana menerima
uang dari Herly Isdiharsono senilai Rp 3,4 miliar yang ditransfer ke rekening
Bank Mandiri Cabang Nindya Karya, Jakarta. Penerimaan uang 3,4 miliar itu
berkaitan dengan penerimaan melawan hukum, yaitu mengurangi kewajiban pajak PT
Mutiara Virgo. Kemudian, sebanyak Rp 1,4 miliar dari uang tersebut digunakan
Dhana untuk membayar rumah atas nama Herly Isdiharsono. Sedangkan sisanya, Rp 2
miliar, dipakai untuk kepentingan pribadi Dhana. Adapun Herly ikut ditetapkan
sebagai tersangka kasus ini. Atas bantuan para pegawai pajak tersebut, PT
Mutiara Virgo hanya membayar Rp 30 miliar dari nilai Rp 128 miliar yang
seharusnya. Adapun total uang yang dikucurkan PT Mutiara Virgo melalui
direkturnya, Jhonny Basuki, ke para pegawai pajak tersebut mencapai Rp 20,8
miliar. Kejaksaan Agung pun menetapkan Jhonny sebagai tersangka kasus ini.
Kemudian, pada 10 Oktober 2007, Dhana kembali menerima uang gratifikasi senilai
Rp 750 juta dari pencairan cek perjalanan di Bank Mandiri Cabang Nindya Karya.
Kedua, Dhana terbukti melakukan
tindakan korupsi yang merugikan negara senilai Rp 1,2 miliar. Dhana terbukti
melakukan atau turut serta melakukan perbuatan melawan hukum untuk memperkaya
diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan
negara. Dakwaan primer memuat Pasal 2 ayat 1 juncto Pasal 18 Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Subsider, memuat Pasal 3 juncto Pasal 18
UU Tipikor. Atau, dakwaan kedua, dua, primer yang memuat Pasal 12 Huruf e
Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan subsidernya memuat Pasal
12 huruf g undang-undang yang sama. Menurut tim JPU Kejaksaan Agung, Dhana
bersama-sama dengan Salman Magfiron sengaja menggunakan data eksternal sebagai
dasar perhitungan pajak PT Kornet Trans Utama, sehingga pajak yang harus
dibayarkan perusahaan tersebut menjadi lebih tinggi. Dhana dan Salman pun
mengadakan pertemuan dengan Direktur PT Kornet Trans Utama, Lee Jung Ho atau Mr
Leo, yang intinya menawarkan bantuan untuk mengurangi nilai pajak yang harus
dibayarkan perusahaan tersebut dengan meminta imbalan Rp 1 miliar. Namun,
permintaan imbalan tersebut diacuhkan PT Kornet. Perusahaan itu kemudian
mengajukan keberatan melalui Pengadilan Pajak yang hasilnya memenangkan PT
Kornet. Atas kemenangan perusahaan tersebut, Dhana dianggap merugikan negara Rp
1,2 miliar atau paling setidak-tidaknya Rp 241.000.
Ketiga, terbukti melakukan tindak
pidana pencucian uang, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 3 Undang-Undang
Nomor 8 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Menurut jaksa, Dhana menerima uang dari tindak pidana korupsi yang selanjutnya
secara bertahap ditransaksikan dengan maksud untuk menyembunyikan asal-usul hartanya.
Hal tersebut, kata Jaksa, dilakukan Dhana dengan sejumlah cara.
Cara pertama, dengan transaksi
perbankan secara bertahap. Dhana memasukkan uang yang dimilikinya ke berbagai
rekening, di antaranya, Bank CIMB Niaga Cabang Jakarta sekitar Rp 4 miliar, Bank
HSBC Cabang Jakarta Kelapa Gading sekitar Rp 2,6 miliar, Bank Standard
Chartered sekitar 271.000 dollar AS, Bank Mandiri Cabang Imam Bonjol Rp
474.000, CIMB Niaga Jakarta Sudirman sebesar Rp 54 juta dan Rp 30.000 dollar
AS, kemudian Bank BCA Cabang Kalimalang sekitar Rp 4,1 miliar.
Cara kedua, dengan membelanjakan
uang yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi tersebut untuk membeli
logam mulia seberat 1.100 gram yang kemudian disimpan dalam safe deposite box
Bank Mandiri Cabang Mandiri Plaza, Jakarta.
Cara ketiga, membelanjakan uangnya
untuk membeli tanah dan properti. Keempat, menyembunyikan uang dalam beberapa
mata uang asing. Kelima, membeli barang-barang berharga. Keenam, membeli
kendaraan bermotor uang disembunyikan dengan cara seolah-olah sebagai barang
dagangan PT Mitra Modern Mobilindo88, menginvestasikan hartanya pada bidang
properti.
Sebelumnya, dalam dakwaan, Dhana
terancam maksimal 20 tahun penjara. Jaksa mengatakan, terdapat hal-hal yang
memberatkan dan meringankan Dhana. Adapun hal yang meringakan karena
berusia relatif muda sehingga diharapkan memperbaiki perbuatan. Dhana akan
mengajukan nota pembelaan atau pleidoi. Dhana Widyatmika akan mengajukan
sendiri dan penasihat hukum juga akan mengajukan sendiri. Majelis hakim
memberikan waktu satu minggu untuk mempersiapkan pleidoi. Sidang lanjutan akan
dilaksanakan Senin 29 Oktober 2012.
3. Kasus
Bahasyim Assife
Bahasyim
adalah bekas Kepala Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak Jakarta VII DJP
Kemkeu.
Bahasyim
terbukti melakukan korupsi dengan menerima suap dari Wajib Pajak Kartini
Mulyadi senilai Rp 1 milyar saat dirinya menjadi kepala kantor pada Februari
2005.
Selain
itu, Bahasyim juga didakwa melakukan pencucian uang dengan modus memindahkan
harta Rp932 miliar ke dalam rekening anak dan istrinya. Uang tersebut diduga
berasal dari tindak pidana korupsi. Di tingkat pertama Bahasyim divonis 10
tahun dan di tingkat banding di Pengadilan Tinggi Tipikor Bahasyim divonis 12
tahun.
4. Kasus PT Asian Agri Group
PT Asian Agri Group (AAG) adalah salah
satu induk usaha terbesar kedua di Grup Raja Garuda Mas, perusahaan milik
Sukanto Tanoto. Menurut majalah Forbes, pada tahun 2006 Tanoto
adalah keluarga paling kaya di Indonesia, dengan kekayaan mencapai US$ 2,8
miliar (sekitar Rp 25,5 triliun). Selain PT AAG, terdapat perusahaan lain
yang berada di bawah naungan Grup Raja Garuda Mas, di antaranya: Asia
Pacific Resources International Holdings Limited (APRIL), Indorayon,
PEC-Tech, Sateri International, dan Pacific Oil & Gas.Secara
khusus, PT AAG memiliki 200 ribu hektar lahan sawit, karet, kakao di Indonesia,
Filipina, Malaysia, dan Thailand. Di Asia, PT AAG merupakan salah satu
penghasil minyak sawit mentah terbesar, yaitu memiliki 19 pabrik yang
menghasilkan 1 juta ton minyak sawit mentah – selain tiga pabrik minyak goreng.
Awal
Mula Kasus
Terungkapnya
dugaan penggelapan pajak oleh PT AAG, bermula dari aksi Vincentius Amin Sutanto
(Vincent) membobol brankas PT AAG di Bank Fortis Singapura senilai US$ 3,1 juta
pada tanggal 13 November 2006. Vincent saat itu menjabat sebagai group
financial controller di PT AAG – yang mengetahui seluk-beluk
keuangannya. Perbuatan Vincent ini terendus oleh perusahaan dan dilaporkan ke
Polda Metro Jaya. Vincent diburu bahkan diancam akan dibunuh. Vincent kabur ke
Singapura sambil membawa sejumlah dokumen penting perusahaan tersebut. Dalam
pelariannya inilah terjadi jalinan komunikasi antara Vincent dan wartawan Tempo.
Pelarian
VAS berakhir setelah pada tanggal 11 Desember 2006 ia menyerahkan diri ke Polda
Metro Jawa. Namun, sebelum itu, pada tanggal 1 Desember 2006 VAS sengaja datang
ke KPK untuk membeberkan permasalahan keuangan PT AAG yang dilengkapi dengan
sejumlah dokumen keuangan dan data digital.Salah satu dokumen tersebut adalah
dokumen yang berjudul “AAA-Cross Border Tax Planning (Under Pricing of
Export Sales)”, disusun pada sekitar 2002. Dokumen ini memuat semua
persiapan transfer pricing PT AAG secara terperinci.
Modusnya
dilakukan dengan cara menjual produk minyak sawit mentah (Crude Palm
Oil) keluaran PT AAG ke perusahaan afiliasi di luar negeri dengan
harga di bawah harga pasar – untuk kemudian dijual kembali ke pembeli riil
dengan harga tinggi. Dengan begitu, beban pajak di dalam negeri bisa ditekan.
Selain itu, rupanya perusahaan-perusahaan luar negeri yang menjadi rekanan PT
AA sebagian adalah perusahaan fiktif.
Pembeberan
Vincent ini kemudian ditindaklanjuti oleh KPK dengan menyerahkan permasalahan
tersebut ke Direktorat Pajak – karena memang permasalahan PT AAG tersebut
terkait erat dengan perpajakan. Menindaklanjuti hal tersebut, Direktur Jendral
Pajak, Darmin Nasution, kemudian membentuk tim khusus yang terdiri atas
pemeriksa, penyidik dan intelijen. Tim ini bekerja sama dengan Pusat Pelaporan
dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan Kejaksaan Agung. Tim khusus
tersebut melakukan serangkaian penyelidikan – termasuk penggeladahan terhadap
kantor PT AAG, baik yang di Jakarta maupun di Medan.
Berdasarkan
hasil penyelidikan tersebut (14 perusahaan diperiksa), ditemukan
Terjadinya penggelapan pajak yang berupa penggelapan pajak penghasilan (PPh)
dan pajak pertambahan nilai (PPN). Selain itu juga “bahwa dalam tahun pajak
2002-2005, terdapat Rp 2,62 triliun penyimpangan pencatatan transaksi. Yang
berupa menggelembungkan biaya perusahaan hingga Rp 1,5 triliun. mendongkrak
kerugian transaksi ekspor Rp 232 miliar. mengecilkan hasil penjualan Rp 889
miliar. Lewat modus ini, Asian Agri diduga telah menggelapkan pajak penghasilan
untuk badan usaha senilai total Rp 2,6 triliun. Perhitungan SPT Asian Agri yang
digelapkan berasal dari SPT periode 2002-2005. Hitungan terakhir menyebutkan
penggelapan pajak itu diduga berpotensi merugikan keuangan negara hingga Rp 1,3
triliun.
Dari
rangkaian investigasi dan penyelidikan, pada bulan Desember 2007 telah
ditetapkan 8 orang tersangka, yang masing-masing berinisial ST, WT, LA, TBK,
AN, EL, LBH, dan SL. Kedelapan orang tersangka tersebut merupakan pengurus,
direktur dan penanggung jawab perusahaan. Di samping itu, pihak Depertemen
Hukum dan HAM juga telah mencekal 8 orang tersangka tersebut.
Kajian Hukum Sebuah Kasus
Dalam
persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, ternyata diketahui bahwa
Majelis Hakim Pengadilan menolak eksepsi dari Manajer Asian Agri Group yang
diwakili oleh Pengacaranya. Eksepsi yang disampaikan Pengacara Asian Agri Group
pada dasarnya menegaskan bahwa penyelesaian kasus dugaan penyelewengan
pajak merupakan kewenangan Pengadilan Pajak karena merupakan persoalan
atau sengketa pajak yang sudah diatur dalam undang-undang pajak.
Sengketa
pajak yang muncul sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang tidak memuaskan
Wajib Pajak harus diupayakan penyelesaiannya secara baik, sederhana, murah,
dan cepat. Artinya, ada jalan penyelesaian secara kekeluargaan dengan musyawarah
antara kedua belah pihak yang bersengketa dan tetap memperhatikan peraturan
perpajakan.
Namun,
Majelis Hakim menolak eksepsi Pengacara Asian Agri Group dan berpendapat bahwa
kasus Asian Agri Group bukan merupakan sengketa pajak karena tidak adanya surat
ketetapan pajak yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Kalau
sengketa pajak akan ada upaya hukum untuk menyelesaikannya, yaitu melalui upaya
hukum keberatan. Oleh karenanya, kasus Asian Agri Group bisa diadili oleh
Pengadilan Negeri.
Penolakan
eksepsi inilah yang perlu mendapat kajian apakah benar argumentasi hukum yang
dibangun Majelis Hakim hingga kasus dugaan penggelapan pajak bisa dipidana
karena tidak adanya surat ketetapan pajak yang diterbitkan Direktorat Jenderal
Pajak sebagai dasar adanya sengketa pajak. Kalau permasalahan pajak dibawa
dalam ranah hukum pidana, tentu menjadi kontradiktif terkait proses
administrasi pajak yang tujuan utamanya mengumpulkan uang pajak. Pilihan
memidanakan Wajib Pajak atau memprioritaskan penerimaan tentu menjadi politik
kepentingan pemerintah. Untuk itu, kajian komprehensif pemidanaan atas
pajak, patut menjadi perhatian serius agar tidak terjadi keresahan terus
menerus di kalangan dunia usaha dan pegawai pajak.
Seperti
diuraikan diatas, dalam banyak literatur disebutkan bahwa hukum pajak tergolong
sebagai hukum publik, termasuk hukum administrasi/tata usaha negara. Jalur
hukum administrasi (hukum pajak) mempunyai cara penyelesaiannya sendiri sesuai
dengan aturan yang sudah ditegaskan dalam undang-undang pajak yang
mengaturnya. Jika seperti itu, menyelesaikan persoalan administrasi pajak
dengan cara pidana menjadi kontradiktik ketika negara membutuhkan dana pajak
sebagai sumber pembiayaan pembangunan yang tiap tahun jumlahnya terus naik
(meningkat). Persoalan memidana Wajib Pajak jelas membawa keresahan
tersendiri bagi pelaku dunia usaha. Artinya, pelaku usaha menjadi takut
dipidana ketika persoalan penghitungan pajak yang cukup rumit akan dipersoalkan
menjadi persoalan berindikasikan tindak pidana.
Pendapat
pakar hukum dalam kasus Asian Agri Group di atas, menarik untuk dikaji dan
dipahami dengan baik oleh semua aparat penegak hukum terutama aparat
Kepolisian, Kejaksaan, maupun Hakim. Kesamaan visi memandang pajak tidak boleh
dipidana karena merupakan bagian dari hukum administrasi, harus menjadi perhatian
bersama.
Hukum
pajak sebagai bagian hukum tata usaha negara memang bersumber pada peristiwa
perdata, yang apabila dilanggar dapat diancam dengan pelanggaran pidana. Dalam
hukum pajak memuat unsur-unsur :
·
Hukum
tata negara dan hukum tata usaha negara.
·
Hukum
perdata;
·
Hukum
pidana. Menyamakan persepsi demikian memang tidak mudah. Diperlukan satu
koordinasi yang kuat. Presiden selaku pimpinan eksekutif sebaiknya memimpin
proses koordinasi demikian.
Penyelesaian
Kasus PT Asian Agri Grup
PT
Asian Agri Group (AAG) telah diduga melakukan penggelapan pajak (tax
evasion) selama beberapa tahun terakhir sehingga menimbulkan kerugian
negara senilai trilyunan rupiah. Belum lagi kelar penyidikan, berkembang wacana
mengenai penyelesaian kasus itu di luar pengadilan (out of court settlement).
Hal ini sangat menggelisahkan kalangan yang menginginkan tegaknya hukum dan
terwujudnya keadilan, tanpa pandang bulu. Sangat ironis jika para penjahat
kelas teri ditangkapi, ditembaki, disidangkan, dan dimasukkan bui, sementara
itu penjahat kerah putih (white collar criminal) yang mengakibatkan
kerugian besar pada negara justru dibiarkan melenggang karena kekuatan kapital
nya.
Meski
peraturan perundangan mengancam pelaku tindak pidana perpajakan dengan sanksi
pidana penjara dan denda yang cukup berat, nyatanya masih ada celah hukum untuk
meloloskan para penggelap pajak dari ketok palu hakim di pengadilan. Pasal 44B
UU No.28/2007 membuka peluang out of court settlement bagi
tindak pidana di bidang perpajakan. Ketentuan itu mengatur bahwa atas
permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan. Dengan
demikian, kasus berakhir (case closed) jika wajib pajak yang telah
melakukan kejahatan itu telah melunasi beban pajak beserta sanksi administratif
berupa denda.
Ketentuan
hukum nyatanya begitu lunak dalam mengatur tindak pidana perpajakan.
Peluang out of court settlement dimungkinkan bagi segala jenis
tindak pidana perpajakan. Peluang itu tidak hanya berlaku untuk “Perlawanan
Pasif terhadap Pajak”, yaitu perlawanan yang tidak dilakukan secara sadar atau
disertai niat dari warga masyarakat untuk merintangi aparat pajak dalam
melakukan tugasnya. Penghentian penyidikan dan penyelesaian di luar sidang juga
berlaku untuk “Perlawanan Aktif terhadap Pajak” yang perbuatannya dilakukan
lewat cara-cara ilegal dan langsung ditujukan pada fiskus/pemerintah.
Jadi,
penyelesaian kasus tindak pidana perpajakan oleh Asian Agri Group meski masuk
kategori “Perlawanan Aktif terhadap Pajak” sekalipun – tetap dapat diselesaikan
di luar sidang pengadilan. Dengan demikian, harapan kita bergantung pada
Menteri Keuangan dan Jaksa Agung sebagai pihak yang paling menentukan dalam
proses penyelesaian tindak pidana perpajakan ini.
Asian
Agri akhirnya benar - benar melayangkan surat keberatan kepada Direktorat
Jenderal Pajak (DJP) terkait Surat Ketetapan Pajak (SKP) kepada 14 anak
perusahaannya. Perusahaan perkebunan sawit milik taipan Sukanto Tanoto ini
melayangkan surat keberatan setelah membayar senilai Rp 969,675 miliar atau 49%
dari total pajak terutang yakni mencapai Rp 1,95 triliun.
Sedari
awal Asian Agri memang berniat banding atas penetapan SKP yang ditetapkan DJP.
Namun mereka harus terlebih dulu membayar setengah dari total utang pajak.
Asian Agri melayangkan keberatan karena menganggap SKP yang mencapai Rp 1,95
triliun tidak sesuai, sebab melebihi total keuntungan perusahaannya yang pada
2002-2005 hanya Rp 1,24 triliun. Total utang pajak plus denda Asian Agri
sendiri mencapai Rp 1,959 triliun.
General
Manajer Grup Asian Agri, Freddy Widjaya mengatakan, surat keberatan SKP telah
disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat wajib pajak terdaftar.
"Sesuai dengan jangka waktu tiga bulan sejak tanggal penerbitan SKP."
ujarnya kepada KONTAN di Jakarta, Rabu (4/9).
Direktur
Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP, Kismamtoro Petrus mengakui telah menerima
surat keberatan Asian Agri pada 28 Agustus 2013. DJP wajib memberikan keputusan
atas keberatan itu paling lambat dua belas bulan.
Meski
keberatan, Asian Agri tetap harus membayar sisa utang pajak seperti dalam SKP.
Jika Asian Agri tidak melunasi seluruh tagihan SKP setelah jatuh tempo, DJP
dapatmelakukan penagihan aktif berupa teguran, penerbitan surat paksa,
penyitaan dan blokir rekening hingga pelelangan aset.
5. Kasus Herry Setiadji, Indarto Catur
Nugroho dan Slamet Riyana
Mereka
adalah tiga bekas pegawai Kantor Pajak Kebayoran Baru III DJP Kemkeu. Majelis
Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan masing-masing vonis 5 tahun
penjara.
Mereka
terbukti memeras perusahaan wajib pajak, yakni PT Electronic Design and
Manufacturing International (EDMI) terkait restitusi lebih bayar pajak atas
Pajak Penghasilan (PPh) Badan Tahun 2012 dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) masa
Februari 2013 sekitar Rp 3 milyar. Ketiga orang ini memeras PT EDMI untuk
membayarkan uang sejumlah Rp 450 juta, agar kelebihan pajak bisa dikembalikan.
6.
Kasus Penunggakan Pembayaran Pajak
di Kota Bandung
Pemerintah Kota
Bandung lamban dalam menyelesaikan piutang pajak tahun 2011 yang berjumlah
sekitar Rp3,8 Miliar. Jika melihat akumulasi dari tahun 2006 hingga 2011,
piutang pajak itu mencapai angka Rp 23,4 Miliar. Berdasarkan Laporan Hasil
Pemeriksaan (LHP) yang diterima Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), piutang itu berasal
dari sektor perhotelan Rp344 juta, restoran Rp 539 juta, hiburan Rp 72
juta, reklame Rp 469 juta, parkir Rp59 juta, BPHTB Rp2,1 miliar dan air tanah
135juta.
Dinas Pendapatan Daerah
juga harus berkoordinasi dengan dinas-dinas yang mengeluarkan izin usaha.Kedepan,
untuk menghindari hal itu terulang, sebelum pengusaha menjalankan izin usahanya
terlebih dahulu membayar pajak.
7.
Kasus Dugaan Suap Pejabat Ditjen
Pajak
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menahan dua tersangka dalam
kasus dugaan suap kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara pada
Direktorat Jenderal Pajak, Selasa (22/11/2016).
Mereka adalah Country Director PT E.K Prima Ekspor
Indonesia, R. Rajamohanan Nair dan Kasubdit Bukti Permulaan Direktorat
Penegakan Hukum Ditjen Pajak Kementerian Keuangan, Handang Soekarno. Keduanya
ditahan di Rumah Tahanan KPK.
Keduanya ditangkap terkait dugaan suap sebesar Rp 6 miliar.
Uang tersebut diduga untuk menghilangkan kewajiban pajak PT E.K Prima Ekspor
Indonesia sebesar Rp 78 miliar.
KPK mengamankan uang sejumlah 148.500 dollar AS atau setara
Rp 1,9 miliar.
Adapun suap tersebut merupakan tahap pertama dari total Rp
6 miliar yang akan dibayarkan Rajamohanan kepada Handang.
Rajamohanan disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf
(a) dan huruf (b) dan Pasal 13 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20
Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
Sementara, Handang disangkakan melanggar Pasal 12 huruf (a)
dan huruf (b) serta Pasal 11 UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
8. Kasus
Tommy Hendratno
Tommy
Hendratno adalah bekas Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi Kantor Pajak
Sidoarjo, Jawa Timur. Ia terbukti menyalahgunakan kewenangannya dan menerima
suap Rp280 juta terkait pengurusan restitusi atau lebih bayar miliki PT Bhakti
Investama Tbk.
Dalam
vonis PN Tipikor, Tommy terbukti melanggar Pasal 5 ayat 2 jo Pasal 5 ayat (1)
huruf b UU Tipikor. Vonis Pengadilan Tipikor ini lebih rendah dari tuntutan JPU
pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menuntut mantan Kepala Seksi
Pengawasan dan Konsultasi Kantor Pajak Pratama (KPP) cabang Sidoarjo ini lima
tahun penjara dan denda sebesar Rp50 juta subsider dua bulan kurungan. Jaksa menyatakan Tommy Hendratno terbukti pada dakwaan
kedua, yakni melanggar Pasal 5 ayat 2 jo pasal 5 ayat 1 huruf b Undang-undang
Nomor 31 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Tommy terbukti menerima uang senilai Rp280 juta
dalam tas hitam dari James Gunardjo melalu Hendy Anuranto di sebuah restoran
Padang yang berada kawasan Tebet, Jakarta Selatan pada 6 Juni 2012. Pemberian
tersebut untuk membantu memberikan data klaim SPT pajak PT Bhakti Investama
senilai Rp 3 miliar.
9. Kasus
Pargono Riyadi
Pegawai pajak Pargono Riyadi sudah
ditetapkan sebagai tersangka karena dugaan pemerasan Asep Hendro. Inilah kasus
pemerasan pertama yang diusut oleh lembaga antikorupsi tersebut.
Pargono adalah bekas PPNS
di Kantor Wilayah DJP Jakarta Pusat. Pengadilan Tipikor Jakarta memvonis empat
tahun enam bulan penjara. Ia terbukti memeras wajib pajak Asep Yusup Hendra
Permana, pemiliki PT Asep Hendro Racing Sport (AHRS) sebesar Rp600 juta.
Menurut Jubir KPK, Johan Budi, pasal yang
disangkakan kepada Pargono memang baru kali ini diterapkan. "Pasal itu
memang baru diterapkan sekarang," jelas Johan di kantornya, Jl HR Rasuna
Said, Jakarta Selatan, Kamis (11\/4\/2013). Dalam proses penyelidikan, KPK menemukan indikasi kuat jika Pargono
memeras pengusaha otomotif Asep. Mantan pembalap nasional ini pun memang
akhirnya dibebaskan. Kini KPK sedang
menelusuri, apakah hanya Asep saja yang sudah diperas oleh Pargono. Termasuk
sudah berapa kali Pargono memeras Asep.
Pargono dijerat dengan Pasal 12 huruf e
atau Pasal 23 UU Pemberantasan Korupsi. Pasal itu mengatur mengenai pemerasan
yang dilakukan penyelenggaran negara.
10. Kasus
Wilmar Group
Nama Wilmar Group identik sebagai juragan kelapa sawit dan
produk turunannya di Indonesia. Sang pendirinya, Martua Sitorus, pun menjadi
kaya raya dari roda dua usaha 67 perusahaan yang bernaung di bawahnya. Martua
tercatat sebagai orang terkaya nomor tujuh di Indonesia menurut majalah Forbes,
dengan kekayaan US$ 2 milyar atau sekitar Rp 22 trilyun. Namun, nama besar
Wilmar Group itu belakangan tercoreng oleh laporan Pusat Pelaporan dan Analisis
Transaksi Keuangan (PPATK) kepada Panitia Kerja (Panja) Mafia Perpajakn komisi
III DPR. Ketua Panja Mafia Perpajakn, Tjatur Sapto Edy, menjelaskan bahwa
pihaknya memang meminta PPATK untuk menelusuri transaksi-transaksi di bidang
perpajakan yang mencurigakan, termasuk di dalamnya transaksi pajak Wilmar.
Menurut PPATK terdapat ekspor barang yang tidak didukung
dokumen valid sekitar Rp 6 Trilyun. Selain itu ada pula kejanggalan penyimpanan
uang restitusi pajak Wilmar periode 2009-2010. Nilainya Rp 3,5 trilyun, yang
dimasukkan ke rekening pinjaman. Seharusnya, restitusi itu dipakai untuk
pembayaran. Atas dua temuan itu, PPATK memperkirakan kerugian negara sebesar Rp
600 milyar dan 3,5 trilyun.
Temuan baru PPATK itu menjadi bukti anyar adanya dugaan
permainan pajak oleh WNI dan MNA yang sebelumnya diungkap Mohammad Isnaeni,
Kepala Kantor Pelayanan Pajak Besar Dua.
Isnaeni mengirim surat bersifat rahasia kepada Direktur Jenderal Pajak tentang
kejanggalan pajak WNI dan MNA.
Kasus dugaan permainan pajak Wilmar itu juga sudah sampai
ke meja Andi Nirwanto, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus)
Kejaksaan Agung. Bersama tim, Andi menelisik dugaan tindak pidana perpajakan
itu.
Dari hasil pemeriksaan, tak ditemukan adanya unsur pidana,
sehingga pada pertengahan tahun ini, Gedung Bundar mengembalikan berkas dugaan
permainan pajak Wilmar itu ke Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak.
Pengembalian kasus pajak Wilmar ke Ditjen Pajak itu
diiringi isu tak sedap yang memapar Gedung Bundar. Andi Nirwanto, diisukan
menerima suap Rp 80 milyar dari Wilmar. Jaksa Agung Basrief pun melansir janji
untuk memeriksa Jampidsus terkait isu suap tersebut. Dari hasil pemeriksaan
internal yang dilakukan Basrief memastikan tak ada suap untuk Andi.
Kasus dugaan permainan pajak Wilmar itunjuga sudah sampai
ke meja Andi Nirwanto, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus)
Kejaksaan Agung. Bersama tim, Andi menelisik dugaan tindak pidana perpajakan
itu.
11. Kasus Tindak
Pidana Perpajakan Yang Diduga Dilakukan Dua Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR), Fadli Zon Dan Fahri Hamzah.
Mantan Penyidik
Pegawai Negeri Sipil pada Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan
Handang Soekarno buka suara soal dugaan tindak pidana perpajakan yang diduga
dilakukan dua Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Fadli Zon dan Fahri
Hamzah. Dugaan pidana pajak yang melibatkan Fadli Zon dan Fahri Hamzah
terungkap dalam persidangan terhadap Handang di Pengadilan Tipikor Jakarta,
Rabu (10/5/2017).
Menurut Handang,
dugaan tersebut berawal dari informasi intelijen. "Sumbernya adalah
data dari analisis hasil kerja Direktorat Intelijen, saya sebagai Kasubdit
Bukper menerima masukan dari laporan intelijen," kata Handang saat
dikonfirmasi. Dalam persidangan, jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
menunjukan barang bukti berupa nota dinas yang dimiliki terdakwa Handang
Soekarno. Nota dinas tersebut kemudian dibenarkan oleh Direktur Penegakan Hukum
Ditjen Pajak, Dadang Suwarna, yang menjadi saksi untuk Handang. Nota dinas yang
ditunjukan jaksa mencantumkan sejumlah nama wajib pajak, baik berupa perorangan
maupun korporasi. Dua di antaranya adalah wajib pajak atas nama Fahri Hamzah
dan Fadli Zon. Dalam nota dinas dijelaskan bahwa Fadli Zon diduga tidak
menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Tahunan PPh orang pribadi atas
nama Fadli Zon, untuk tahun pajak 2013 ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama.
Dalam catatan lain, Fadli Zon ditulis tidak menyampaikan SPT dari tahun 2011
sampai 2015. Selain, itu terdapat catatan atas nama wajib pajak Fahri Hamzah.
Dalam nota dinas, Fahri diduga menyampaikan SPT Tahunan PPh orang pribadi yang
isinya tidak benar atau tidak lengkap, untuk tahun pajak 2013 - 2014 ke KPP
Pratama Jakarta Pesanggrahan. "Daftar harta 2014 berbeda dengan LHKPN
dengan jumlah selisih Rp 4,46 miliar,"
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Seharusnya kasus sebelumnya seperti
kasus Gayus, sudah menjadi pelajaran bagi Indonesia bahwa lemahnya perhatian
yang dilakukan pihak yang berwenang terhadap kasus pajak sebelumnya. Kasus
pajak ini bisa mencoret nama baik pegawai pajak lain yang tidak melakukan
penggelapan pajak seperti yang dilakukan Gayus Tambunan, Dhana Widyatmika,
Bahasyim Assife, Herry Setiadji, Indarto Nugroho dan Slamet Riyana, Pejabat
Ditjen Pajak, Tommy Hendratno, Pargono Riyadi. Tidak semua pegawai pajak
melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan para penggelap pajak yang
disebut kan di atas.
Diharapkan kasus penggelapan lain,
diharapkan dapat ditindaklanjuti dengan cepat tanpa menunggu lama.
2. Saran
Adapun saran yang dapat kami sampaikan mengenai kasus
kecurangan pajak yaitu sebagai berikut :
1.
Pemerintah
harus tegas dalam menangani kasus kecurangan pajak yang terjadi di Indonesia
2.
Penghindaran Pajak merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi penerimaan Pajak Pertambahan Nilai. Dalam hal ini, seharusnya
Kantor Pelayanan Pajak lebih meningkatkan kembali pengawasannya kepada para
wajib pajak agar tidak melakukan hal-hal yang dianggap merugikan negara dengan
tidak mengikuti peraturan undang-undang perpajakan yang ada.
3.
Penggelapan Pajak dan Penghindaran Pajak merupakan faktor
yang mempengaruhi besarnya penerimaan Pajak Pertambahan Nilai. Hal ini harus
menjadi perhatian lebih bagi Kantor Pelayanan Pajak dikarenakan Pajak
Pertambahan Nilai merupakan penerimaan negara yang cukup besar. Maka dari itu,
seharusnya Kantor Pelayanan Pajak lebih meningkatkan lagi.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.cnnindonesia.com/nasional/20161122162351-12-174492/rentetan-kasus-korupsi-yang-menjerat-pegawai-pajak/
http://muhammadbayu05.blogspot.co.id/2016/04/penggelapan-pajak.html
http://nasional.kompas.com/read/2017/05/10/18232701/dugaan.pidana.pajak.fahri.hamzah.dan.fadli.zon.berawal.dari.intelijen.pajak
http://news.detik.com/berita/2218088/kasus-pargono-riyadi-kasus-pemerasan-pertama-yang-diusut-kpk