Rabu, 03 Januari 2018

MAKALAH SERTA CARA PENYELESAIAN PENGGUNAAN APLIKASI E-FAKTUR

TUGAS FINAL SOFTWARE AKUNTANSI II
E-FAKTUR PAJAK



Oleh :


HUMAIRA
201513254







KONSENTRASI ADMINISTRASI KEUANGAN
PROGRAM STUDI ADMINISTRASI BISNIS
POLITEKNIK INFORMATIKA NASIONAL
MAKASSAR

2017






KATA PENGANTAR

Pertama-tama, penulis mengucapkan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah mengenai ‘Software Akuntansi II’ ini dengan baik. Salawat dan salam kami haturkan kepada Nabi Muhammad SAW yang mana beliau telah membawa kita dari alam kebodohan ke alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan seperti pada saat ini.
            Makalah mengenai ‘Software Akuntansi II’ ini disusun berdasarkan ilmu pengetahuan, dan memanfaatkan teknologi yang ada berupa media internet untuk memperoleh data dan bahan-bahan yang sesuai dengan apa yang menjadi pembahasan pada makalah.
            Besar harapan penulis agar makalah mengenai software akuntansi II ini dapat sesuai dengan apa yang diharapkan oleh dosen pembimbing kami yakni Sarjayadi Awe, SE dan dapat dijadikan sebagai referensi tambahan yang bermanfaat dalam pembelajaran Software Akuntansi II.
            Penulis mengharapkan masukan dan kritikan dari para pembaca khususnya dari Dosen Pembimbing  Mata Kuliah Software Akuntansi II yakni Sarjayadi Awe, SE dan umumnya dari mahasiswa yang membaca makalah ini sehingga kekurangan-kekurangan yang terdapat pada makalah ini dapat dijadikan sebagai pembelajaran di kemudian hari.
            Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.



Makassar, 15 Juni 2017


Humaira
                                                                                         Penulis


DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................  1
DAFTAR ISI.....................................................................................................  2

BAB I PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang.....................................................................................   3
B.   Tujuan Penulisan.................................................................................   5
C.   Manfaat Penulisan...............................................................................   5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A.   Tinjauan Pustaka.................................................................................   6
1)    Pengertian Efaktur.........................................................................   6
2)    Manfaat Efaktur..............................................................................   6

BAB III Soal dan Jawaban
A.   Soal Final............................................................................................  10
B.   Jawaban / Penyelesaian.....................................................................  11

BAB IV PENUTUP
A.   Kesimpulan ........................................................................................  25
B.   Saran-saran........................................................................................  25


DAFTAR PUSTAKA........................................................................................  26
LAMPIRAN......................................................................................................  27
RIWAYAT HIDUP............................................................................................  28











BAB I
PENDAHULUAN

1.1   Latar Belakang

Seiring meningkatnya dan volume transaksi yang dilakukan oleh pengusaha kena pajak, maka semakin bertambah pula kebutuhan para pengusaha dalam menjalankan kepatuhan perpajakannya khususnya PPN. Menurut Badan Pusat Statistik tahun 2014, Indonesia merupakan Negara dengan luas wilayah geografi 1.910.931,32 Km2  dan memiliki penduduk sebanyak  248.818.100 orang. Indonesia masuk ke dalam katagori negara berkembang yang memiliki banyak potensi ekonomi. Sehingga banyak terdapat industri-industri dari berbagai sektor terdapat di Indonesia. Banyak investor-investor asing yang menanamkan modalnya di Indonesia. Jumlah perusahaan yang ada di Indonesia menurut data Badan Pusat Statistik tahun 2012 sekitar 23,257 unit  dan terus berkembang sampai tahun 2014.
Begitu banyak juga perusahaan yang akan melakukan berbagai transaksi di Indonesia. Atas dasar tersebut akan timbul kewajiban-kewajiban di bidang perpajakan, mulai dari mendaftarkan usaha, menghitung pajak terhutang, melaporkan pajak serta kewajiban membuat faktur pajak bagi pengusaha. Faktur pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak.
Dalam sejarahnya, faktur pajak pertama kali diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 432/KMK.04/1984. Faktur pada tahun 1984 hanya terdapat satu jenis dan diisi secara manual. Pada tahun 1985 diterbitkan juga faktur pajak sederhana untuk Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan secara eceran dan berupa barang kena pajak yang sudah jadi. Faktur pajak sederhana digunakan sampai tahun 2012 lalu peraturannya dicabut. Sehingga sekarang hanya ada faktur pajak standar rupiah dan faktur pajak mata uang asing. 





Faktur pajak adalah sebuah dokumen yang sangat penting untuk penjual karena merupakan bukti otentik telah memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari pihak pembeli. Sedangkan bagi pihak pembeli, dengan adanya faktur pajak maka PKP dapat mengkreditkan atau mengurangi PPN yang harus dibayar. Namun faktur pajak dapat menyebabkan terjadinya lebih bayar jika faktur pajak pembelian lebih tinggi daripada faktur pajak penjualan dan dapat direstitusi atau diminta kembali ke negara yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak. Menurut data Direktorat Jenderal Pajak sepanjang 2008-2013 terdapat 100 kasus faktur pajak bodong yang merugikan negara sekitar Rp 1,5 triliun. Bisa dikatakan, sebanyak 50 persen kasus pengemplangan pajak bermodus laporan faktur pajak fiktif. Sehingga Direktorat Jenderal Pajak membuat Satuan Tugas Khusus terkait faktur pajak fiktif.
Untuk menanggulangi terjadinya praktek faktur pajak fiktif, pada tahun 2013 Direktorat Jenderal Pajak membuat E-Tax Invoice (e-Faktur) yaitu sebuah aplikasi elektronik yang ditentukan dan/atau disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak yang digunakan untuk membuat faktur pajak.  Penggunaan aplikasi e-faktur dilakukan secara bertahap oleh Pengusaha Kena Pajak. Mulai tanggal 1 Juli 2014, diberlakukan kepada 45 Pengusaha Kena Pajak. Mulai tanggal 1 Juli 2015, diberlakukan kepada PKP yang terdaftar di lingkungan Kantor Wilayah DJP Wajib Pajak Besar, Jakarta Khusus, Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, DI Yogyakarta dan Bali. Sedangkan secara nasional baru mulai tanggal 1 Juli 2016.

Dasar hukum pembuatan E-faktur
1.   UU Nomor 42 TAHUN 2009 tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 8 tahun 1983 tentang PPN Barang dan Jasa dan PPnBM.
2.   PMK-151/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pembuatan dan Tata Cara Pembetulan atau Penggantian Faktur Pajak.
3.   PER-17/PJ/2014 tentang Perubahan Kedua atas PER-24/PJ/2012 tentang Bentuk, Ukuran, Prosedur Pemberitahuan dalam rangka Pembuatan, Tata Cara Pengisian Keterangan, Pembetulan atau Penggantian, dan Pembatalan Faktur Pajak.
4.   PER-16/PJ/2014 tentang Tata Cara Pembuatan dan Pelaporan Faktur Pajak berbentuk Elektronik.

Alasan mengapa diluncurkannya E-faktur?
Yang mendasari Direktorat Jenderal Pajak (DJP) membuat aplikasi ini adalah karena memperhatikan masih terdapat penyalahgunaan Faktur Pajak, diantaranya wajib pajak non Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang menerbitkan faktur pajak padahal tidak berhak menerbitkan faktur pajak, faktur pajak yang terlambat diterbitkan, faktur pajak fiktif, atau faktur pajak ganda. Juga karena beban administrasi yang begitu besar bagi pihak DJP maupun bagi PKP.

1.2               Tujuan Penulisan :
1.   Untuk Mengetahui Latar Belakang E-Faktur
2.   Untuk Mengetahui Pengertian E-Faktur
3.   Untuk Mengetahui Manfaat E-Faktur

 1.3       Manfaat Penulisan :
1.  Dapat Mengetahui Latar belakang E-Faktur
2.  Dapat Mengetahui Pengertian E-Faktur
3.  Dapat Mengetahui Manfaat E-Faktur












BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.            Tinjauan Pustaka

1.  Pengertian E-Faktur
E-faktur adalah sistem perpajakan terbaru dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk melaporkan  SPT Masa dan Tahunan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Barang dan Jasa dengan menggunakan program khusus berbasis internet. Dengan E-faktur akan memudahkan PKP dalam bertransaksi jarak jauh, lebih cepat, tidak ribet, aman, hemat kertas, bisa membuat faktur pajak dimana saja dan kapan saja asal ada saluran internet.  Faktur Pajak berbentuk elektronik, yang selanjutnya disebut e-Faktur, adalah Faktur Pajak yang dibuat melalui aplikasi atau sistem elektronik yang ditentukan dan/atau disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak. (Pasal 1 ayat (1) Per 16/PJ/2014)

B.              Manfaat E-faktur
Dalam PER 16/PJ/2014 sudah dijabarkan kemudahan – kemudahan dari penggunaan e-Faktur yaitu:
a.     Manfaat Bagi Pengusaha Kena Pajak
·      Bagi PKP Penjual :
1.    Tanda tangan basah digantikan tanda tangan elektronik.
2.    E-Faktur Pajak tidak harus dicetak sehingga mengurangi biaya kertas, biaya cetak, dan biaya penyimpanan dokumen.
3.    Aplikasi e-Faktur Pajak juga membuat SPT masa PPN sehingga PKP tidak perlu lagi membuatnya.
4.    PKP yang menggunakan e-Faktur Pajak juga dapat meminta nomor seri faktur pajak melalui situs pajak & tidak perlu lagi datang ke KPP.

·      Bagi PKP Pembeli :
1.   Terlindungi dari penyalahgunaan faktur pajak yang tidak sah, karena cetakan e-Faktur dilengkapi dengan pengaman berupa QR code. QR code menampilkan informasi tentang transaksi penyerahan : nilai DPP dan PPN dan lain-lain.

1.   Informasi dalam QR code dapat dilihat menggunakan aplikasi QR code scanner yang terdapat dismartphone atau gadget lainnya.
2.   Apabila Informasi yang terdapat dalam QR code tersebut berbeda dengan yang ada dalam cetakan e-Faktur Pajak maka Faktur Pajak valid.
a.     E-faktur mampu memberikan manfaat bagi pemerintah antara lain:
1.   Kemudahan pengawasan dengan adanya proses validasi Pajak Keluaran-Pajak Masukan (PK-PM) dan adanya data lengkap dari setiap faktur pajak.  
2.   Mempermudah pelayanan karena akan mempercepat proses pemeriksaan, pelaporan, dan pemberian nomor seri faktur pajak.
3.  Sistem berbasis elektronik ini akan meminimalkan penyalahgunaan penggunaan faktur pajak oleh perusahaan fiktif atau pihak yang tidak bertanggung jawab sehingga potensi pajak yang hilang menjadi sangat kecil.

b.     Manfaat dari Aspek Pemerintah 
Dengan demikian, E-faktur mampu memberikan manfaat bagi pemerintah antara lain:
1)  Kemudahan pengawasan dengan adanya proses validasi Pajak Keluaran-Pajak Masukan (PK-PM) dan adanya data lengkap dari setiap faktur pajak.  
2)  Mempermudah pelayanan karena akan mempercepat proses pemeriksaan, pelaporan, dan pemberian nomor seri faktur pajak.
3)  Sistem berbasis elektronik ini akan meminimalkan penyalahgunaan penggunaan faktur pajak oleh perusahaan fiktif atau pihak yang tidak bertanggung jawab sehingga potensi pajak yang hilang menjadi sangat kecil.




a.  Manfaat dari aspek Lingkungan

Pada era global ini sering diisukan tentang global warming atau pemanasan global. Apa hubungan global warming dengan aspek pepajakan terutama e-faktur? Hubungannya sangat jelas sekali dari tahun 1983 faktur pajak dibuat secara manual menggunakan kertas, kertas dibuat dari bubur kayu, kayu diambil dari hutan. Sehingga dapat merusak paru-paru dunia dan menyebakan global warming. Mungkin ini terlihat sangat sederhana namun dampak dari penggunaan kertas ini sangat besar bagi lingkungan. Menurut data Direktorat Jenderal Pajak Tahun 2011 terdapat 870 ribu PKP, kalau kita perhitungkan seperti tabel dibawah :

Jumlah yang kecil di awal tapi akan menjadi besar jika digunakan secara kolektif. Berapa pohon yang harus ditebang untuk membuat sebanyak 751.680 juta lembar kertas pertahun untuk membuat faktur pajak.  Itulah kenapa kita harus menerapkan green tax.

Green tax adalah sebuah kebijakan untuk mengurangi penggunaan kertas sebagai sarana administrasi serta menjaga alam dari pemanasan global. Gerakan ini sudah dilakukan oleh negara-negara maju untuk mengurangi pemanasan global. Grafik dibawah menunjukan negara yang telah menerapkan green tax.










e. Kendala penerapan E-faktur di Indonesia
     1)      Kendala gerografis di Indonesia.

Indonesia adalah negara kepulauan, dengan kondisi geografis sepert ini  tentu akan terjadi perbedaan  pembangunan dan fasilitas dalam penggunaan sistem elektronik atau internet. Tidak semua wilayah Indonesai mempunyai fasilitas komputer dan internet yang dapat menopang kinerja dari e-Faktur. Sehingga ditakutkan di daerah-daerah terpen
2). Kendala sumber daya manusia yang menggunakan e-Faktur dan kendala dari aplikasi e-Faktur itu sendiri.
Dengan kecangihan dari e-Faktur, harus dilihat juga kemampuan dari penggunanya. Agar tidak terjadi human error dalam penggunaan dari e-faktur. Kemampuan sumber daya manusia sangat penting dalam penggunaan e-Faktur. Sehingga perlu dilakukan pelatihan dan sosialisasi menyeluruh ke seluruh wilayah di Indonesia sebelum e-Faktur di terapkan di seluruh Indonesia pada 2016 nanti. E-Faktur sebagai sistem elektronik tentu antara bahasa pemrograman yang digunakan tidak akan sama dengan bahasa yang digunakan oleh undang-undang perpajakan. Ini menyebabkan ada kemungkinan ketidaksesuaian penerapan aturan dengan pelaksanaan dari aplikasi e-Faktur itu sendiri











BAB III
Soal dan Jawaban

A.   Soal Final
Berikut adalah soal final yang akan diselesaikan oleh penulis pada bagian B. Jawaban/Penyelesaian.
1.    Buat database baru dengan format contoh nama database (Awe_AK60) tanpa ada spasi atau karakter lainnya.
2.    Input lawan transaksi yang ada pada tugas sebelumnya, daftar NPWP terdapat pada lampiran tugas ini.
3.    Buat master barang sesuai yang kalian inginkan.
4.    Masukkan referensi Nomor Faktur sesuai yang kalian inginkan
5.    Lakukan Pembelian barang (minimal 2 Transaksi)
6.    Lakukan Penjualan barang (Minimal 3 Transaksi)

B.    Jawaban / Penyelesaian

Gambar 1
Login Efaktur


Gambar dia atas adalah tampilan awal saat login pada aplikasi e-faktur kemudian pilih menu File – Administrasi DB. Setelah masuk

1.       kemudian isikan Nama Database yang diinginkan – klik tombol Buat Database. Akan tampil informasi ’’Database berhasil dibuat” yang menandakan database barusan yang dibuat telah berhasil dan siap untuk diakses. Klik tombol OK. Database yang dibuat akan tampil didaftar Administrasi Database. Database baru dengan nama ’’Tugas_Final_Humaira_AK67” berhasil dibuat. Database siap untuk dilakukan konek ke database dan dijalankan untuk melakukan berbagai macam transaksi.
Gambar 2
Form Referensi Lawan Transaksi
1.       Gambar di atas merupakan Referensi Lawan Transaksi yang dibuat untuk Costumer/pelanggan yang akan bertransaksi dengan perusahaan. Untuk menambahkan lawan transaksi di e-faktur kita dapat mengklik Referensi – Lawan Transaksi – Administrasi Lawan Transaksi di bagian menu aplikasi e-faktur.

Rabu, 13 September 2017

MAKALAH “KASUS KECURANGAN PAJAK”

MAKALAH
“KASUS KECURANGAN PAJAK”






OLEH KELOMPOK 3 :

1.      HAZELELPONI DAUD
2.      HUMAIRA
3.      SULKIYANA
4.      RISWAN
5.      JULIUS P
6.      WAHIDIN HUSODO


ADMINISTRASI KEUANGAN 67


POLITEKNIK INFORMATIKA NASIONAL MAKASSAR
TAHUN PENDIDIKAN 2016 / 2017








KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Atas rahmat-Nya yang telah dilimpahkan kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul“Kasus Kecurangan Pajak” Yang merupakan salah satu tugas kelompok yang diberikan Dosen mata kuliah “Akuntansi Perpajakan” di semester IV.
Dalam menyelesaikan makalah ini. Kelompok kami banyak mendapat bantuan dan masukan dari berbagai pihak. Oleh karena itu,dalam kesempatan ini kami ingin menyampaikan terima kasih kepada :
1.      Bapak Pajaruddin Ibrahim, SE., M.Acc AK Selaku Dosen mata kuliah yang telah memberikan tugas mengenai “Kasus Kecurangan Pajak” sehingga pengetahuan kami makin bertambah dan hal ini sangat bermanfaat bagi kami di kemudian hari.
2.      Pihak-pihak yag tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah turut membantu sehingga makalah ini dapat dislesaikan dengan baik dan tepat pada waktuya.
Kami menyadari bahwa penyusunan makah ini sangat jauh dari kesampurnaan, namun demikian telah memberikan manfaat bagi kami . Akhir kata berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Kritik dan saran yang bersifat membangun akan kami terima dengan senang hati.


Makassar,  Mei 2017        


Kelompok III        














DAFTAR ISI

Kata Pengantar ....................................................................................... i
Daftar Isi ................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang ............................................................................ 1
2.      Rumusan Masalah ...................................................................... 1
3.      Tujuan ......................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
1.      Kasus Gayus Tambunan ............................................................. 3
2.      Kasus Dhana Widyatmika .......................................................... 4
3.      Kasus Bahasyim Assife .............................................................. 6
4.      Kasus PT Asian Agri Group ....................................................... 7
5.      Kasus Herry Setiadji, Indarto Catur Nugroho
dan Slamet Riyana ..................................................................... 11
6.      Kasus Penunggakan Pembayaran Pajak
di Kota Bandung ........................................................................ 11
7.      Kasus Dugaan Suap Pejabat Ditjen Pajak .................................. 12
8.      Kasus Tommy Hendratno .......................................................... 12
9.      Kasus Pargono Riyadi ................................................................ 13
10.  Kasus Wilmar Group .................................................................. 13
11.  Kasus Tindak Pidana Perpajakan Yang Diduga
Dilakukan Dua Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR),
Fadli Zon Dan Fahri Hamzah ..................................................... 14
BAB III PENUTUP
1.      Kesimpulan ................................................................................. 15
2.      Saran ........................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 16









BAB I
PENDAHULUAN

1.    Latar Belakang
Pajak merupakan sumber penerimaan  Negara disamping penerimaan dari sumber migas dan non migas. Dengan posisi yang sedemikian penting itu pajak merupakan penerimaan strategis yang harus dikelola dengan baik oleh negara. Dalam struktur keuangan Negara tugas dan fungsi penerimaan pajak dijalankan oleh Direktorat Jenderal Pajak dibawah Departemen Keuangan Republik Indonesia.Dari tahun ke tahun telah banyak dilakukan berbagai kebijakan untuk meningkatkan penerimaan pajak sebagai sumber penerimaan Negara. Kebijakan tersebut dapat dilakukan melalui penyempurnaan undang-undang, penerbitan peraturan perundang-undangan baru dibidang perpajakan, guna meningkatkan kepatuhan wajib pajak  maupun menggali sumber hukum pajak lainnya Berbagai upaya yang dilakukan belum menunjukkan perubahan yang signifikan bagi penerimaan Negara. Bahkan kondisi ini makin diperparah pada tahun 1997 dengan terjadinya krisis ekonomi bahkan krisis multi dimensi yang sampai sekarang ini belum terselesaikan di Indonesia.
Pada umumnya dinegara berkembang, penerimaan pajaknya yang terbesar berasal dari pajak tidak langsung, Hal ini disebabkan Negara berkembang golongan berpenghasilan tinggi lebih rendah persentasenya.namun dalam hal ini masih saja banyak terjadi pengusaha yang menghindarkan diri dari pajak atau dalam arti lainnya melakukan penyelewengan pajak dimana penghindaran diri dari pajak ini bisa saja di sebut dengan pelanggaran undang undang dan resikonya dapat merugikan negara selain itu juga masih banyak terjadi kasus penggelapan pajak yang masih bisa lolos dari jerat hukum dan mengambang kasusnya dikarenakan aparat penegak hukum kita tidak tegas dan sungguh-sungguh dalam menegakkan keadilan malah berusaha menyiasati hukum dengan segala cara tidak lain tidak bukan tujuannya adalah untuk melindungi tersangka mafia pajak. Dalam hal ini saya akan membahas mengenai salah kasus penggelapan pajak yang dilakukan oleh Gayus Tambunan, DhanaWidyatmika, Bahasyim Assife, PT Asian Agri Group, Herry Setiadji, Indarto Catur Nugroho dan Slamet Riyana, Penunggakan Pembayaran Pajak di Kota Bandung, Dugaan Suap Pejabat Ditjen Pajak, Tommy Hendratno, Pargono Riyadi, Wilmar Group, Tindak Pidana Perpajakan Yang Diduga Dilakukan Dua Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR),Fadli Zon Dan Fahri Hamzah.

2.    Rumusan Masalah
1.             Bagaimana Kasus Kecurangan Pajak yang dilakukan oleh Gayus Tambunan?
2.             Bagaimna Kasus Kecurangan Pajak yang dilakukan oleh Dhana Widyatmika?
3.             Bagaimana Kasus Kecurangan Pajak yang dilakukan oleh Bahasyim Assife ?
4.             Bagaimana Kasus Kecurangan Pajak yang dilakukan oleh  PT Asian Agri Group ?
5.    Bagaimana Kasus Kecurangan Pajak yang dilakukan oleh Herry Setiadji, Indarto Catur Nugroho dan Slamet Riyana ?
6.             Bagaimana Kasus Kecurangan Pajak Penunggakan Pembayaran Pajak di Kota Bandung ?
7.             Bagaimana Kasus Kecurangan Pajak Dugaan Suap Pejabat Ditjen Pajak?
8.             Bagaimana Kasus Kecurangan Pajak yang dilakukan oleh Tommy Hendratno?
9.             Bagaimana Kasus Kecurangan Pajak yang dilakukan oleh Pargono Riyadi ?
10.         Bagaimana Kasus Kecurangan Pajak yang dilakukan oleh Wilmar Group ?
11.         Bagaimana Kasus Kecurangan Pajak Tindak Pidana Perpajakan yang Diduga Dilakukan Dua Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Fadli Zon Dan Fahri Hamzah ?

3.    Tujuan
1.             Untuk Mengetahui Kasus Kecurangan Pajak yang dilakukan oleh Gayus Tambunan
2.             Untuk Mengetahui Kasus Kecurangan Pajak yang dilakukan oleh Dhana Widyatmika
3.             Untuk Mengetahui Kasus Kecurangan Pajak yang dilakukan oleh Bahasyim Assife
4.             Untuk Mengetahui Kasus Kecurangan Pajak yang dilakukan oleh  PT Asian Agri Group
5.         Untuk Mengetahui Kasus Kecurangan Pajak yang dilakukan oleh Herry Setiadji, Indarto Catur Nugroho dan Slamet Riyana
6.   Untuk Mengetahui Kasus Kecurangan Pajak Penunggakan Pembayaran Pajak di Kota Bandung ?
7.             Untuk Mengetahui Kasus Kecurangan Pajak Dugaan Suap Pejabat Ditjen Pajak
8.             Untuk Mengetahui Kasus Kecurangan Pajak yang dilakukan oleh Tommy Hendratno
9.             Untuk Mengetahui Kasus Kecurangan Pajak yang dilakukan oleh Pargono Riyadi
10.         Untuk Mengetahui Kasus Kecurangan Pajak yang dilakukan oleh Wilmar Group
11.   Untuk Mengetahui Kasus Kecurangan Pajak Tindak Pidana Perpajakan Yang Diduga Dilakukan Dua Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Fadli Zon Dan Fahri Hamzah







BAB II
PEMBAHASAN

Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang dengan tiada mendapat balas jasa secara langsung. Lembaga Pemerintah yang mengelola perpajakan negara di Indonesia adalah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang merupakan salah satu direktorat jenderal yang ada di bawah naungan Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Dalam hal perpajakan, ada beberapa kasus yang pernah terjadi di Indonesia. Diantaranya adalah :

1.    Kasus Gayus Tambunan
Gayus Halomoan Partahanan Tambunan adalah bekas pegawai negeri sipil di DJP Kemkeu. Ia dipenjara karena melakukan penyalahgunaan wewenang, menerima suap dari wajib pajak, dan pidana umum lainnya. Gayus merupakan PNS golongan IIIA namun disebut-sebut memiliki harta hingga puluhan miliar rupiah.
Gayus dinyatakan terbukti bersalah menerima suap senilai  Rp 925 juta dari Roberto Santonius, konsultan PT Metropolitan Retailmart terkait kepengurusan keberatan pajak perusahaan tersebut.
Gayus juga lalai menangani keberatan pajak PT Surya Alam Tunggal (SAT) yang berakibat pada kerugian negara sebesar Rp 570 juta. Gayus juga terlibat dalam kasus penggelapan pajak PT Megah Citra Raya.
Gayus terbukti bersalah menerima gratifikasi saat menjabat petugas penelaah keberatan pajak di Ditjen Pajak. Gayus terbukti menerima gratifikasi sebesar US$ 659.800 dan Sin$ 9,6 juta.
Gayus juga dijerat dengan UU Tindak Pidana Pencucian Uang. Selama persidangan, gayus gagal membuktikan kekayaannya berupa uang RP 925 juta, US$ 3,5 juta, US$ 659.800, Sin$ 9,6 juta dan 31 keping logam mulai masng-masing 100 gram bukan berasal dari hasil tindak pidana.
Dalam perkembangan selanjutnya Gayus sempat melarikan diri ke Singapura beserta anak istrinya sebelum dijemput kembali oleh Satgas Mafia Hukum di Singapura. Kasus Gayus mencoreng reformasi Kementerian Keuangan Republik Indonesia yang sudah digulirkan Sri Mulyani dan menghancurkan citra aparat perpajakan Indonesia. Dalam kasus penggelapan pajak oleh pejabat pajak “ Gayus” tidak ditemukan sama sekali integritas yang tinggi, dalam hal kejujuran pejabat tersebut telah membohongi publik, dengan menggunakan uang  yang seharusnya bukan  miliknya.

v Mereka yang terkait kasus Gayus
a.         12 Pegawai Dirjen Pajak termasuk seorang direktur, yaitu Bambang Heru Ismiarso dicopot dari jabatannya dan diperiksa.
b.  2 orang Petinggi Kepolisian , Brigjen Pol Edmon Ilyas dan Brigjen Pol Radja Erizman dicopot dari jabatanya dan diperiksa.
c.         Bahasyim Assifie, mantan Inspektur Bidang Kinerja dan Kelembagaan Bappenas 
d.        Andi Kosasih
e.         Haposan Hutagalung sebagai pengacara Gayus
f.         Kompol Muhammad Arafat
g.        Lambertus (staf Haposan)
h.        Alif Kuncoro 
i.          Beberapa aparat kejaksaan diperiksa
j.      Jaksa Cirus Sinaga dicopot dari jabatannya sebagai Asisten Tindak Pidana Khusus Kejati Jawa Tengah, karena melanggar kode etik penanganan perkara Gayus HP Tambunan.
k.    Jaksa Poltak Manulang dicopot dari jabatannya sebagai Direktur Pra Penuntutan (Pratut) Kejagung

v Bukti – bukti
Polri telah melakukan penggeledahan terhadap rumah terdakwa mafia hukum, Gayus Tambunan terkait pemalsuan paspor atas nama Sony Laksono. Hasil pemeriksaan rumah Gayus di daerah Kelapa Gading, penyidik telah menemukan berbagai barang bukti perjalanan ke beberapa negara.
"Penyidik telah menemukan berbagai barang bukti yang diperlukan sekaligus dalam konteks pembuktian," kata Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri, Kombes Pol Boy Rafli Amar di Mabes Polri, Jakarta, Jumat 14 Januari 2011.
Boy pun menyebutkan barang bukti yang sudah disita Polri tersebut, antara lain boarding pass dari China Air yang digunakan Gayus ketika pulang dari Makau, boarding pass Air Asia atas nama istri Gayus, Milana Anggraeni.
Meski berstatus tahanan, Gayus diduga mengajak Milana pergi ke sejumlah negara. Mereka diduga pergi ke Makau (Hong Kong), Singapura, dan Kuala Lumpur (Malaysia).
Selain Milana, untuk melengkapi keterangan yang dibutuhkan, penyidik juga berharap bisa memperoleh keterangan dari Devina, penulis surat pembaca Harian Kompas yang menguak kepergian Gayus ke luar negeri.
Dengan menggunakan paspor atas nama Sony Laksono, Gayus pelesir ke berbagai tempat. Dari manifes, terdapat seseorang yang berinisial Sony bepergian ke luar negeri dengan pesawat Mandala pada 24 September dengan tujuan Makau. Pada 30 September, dengan menggunakan pesawat Air Asia tujuan Singapura, Sony Laksono duduk di bangku 11F.

2.    Kasus Dhana Widyatmika
   Sosok Dhana Widyatmika, seorang mantan PNS Ditjen Pajak, yang menjadi tersangka kasus korupsi yang telah ditetapkan oleh kejaksaan agung yang pemberitaannya kini mengemuka di media massa. Dhana Widyatmika disebut-sebut sebagai The Next Gayus, karena memiliki rekening dibeberapa bank yang jumlahnya miliaran. Identitas Dhana Widyatmika sendiri terungkap dari informasi Kabag Humas dan TU Ditjen Imigrasi Maryoto Sumadi. Ketika wartawan detikFinance mengkonfirmasikan mengenai identitas yang sebelumnya disingkat dengan DW, maka Maryoto Sumadi membenarkan nama Dhana Widyatmika masuk dalam daftar cekal di imigrasi.
   Berdasarkan laporan yang dilansir oleh DetikFinance, menyebutkan bahwa Dhana Widyatmika merupakan lulusan Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN). Setelah melanjutkan program sarjana, dia meneruskan studi pasca sarjana di Program Studi Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia (FISIP UI).  Setelah lulus STAN, Dhana mulai bekerja di Ditjen Pajak pada tahun 1996. Karirnya berkembang terus. Pada 2011, berdasarkan Surat Keputusan (SK) Direktur Jenderal Pajak (Dirjen Pajak) Dhana Widyatmika menjabat sebagai Account Representative pada Kantor Pelayanan Pajak Penanaman Modal Asing Enam.
Dhana Widyatmika merupakan PNS golongan III/c dengan pangkat penata. Ia kini berusia 37 tahun. Direktur Jenderal Pajak (Dirjen Pajak) Fuad Rahmany mengungkapkan ‘The Next Gayus’ ini tidak lagi menjadi pegawai pajak. Karena, atas keinginannya sendiri Dhana Widyatmika ini meminta pindah ke instansi lain. Mantan pegawai Direktorat Jenderal Pajak Dhana Widyatmika dituntut hukuman 12 tahun penjara untuk tiga perbuatan pidana oleh jaksa penuntut umum (JPU) Kejaksaan Agung. Selain hukuman penjara, majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi diminta menjatuhi hukuman membayar denda Rp 1 miliar dan subsider kurungan enam bulan.  Dhana dianggap terbukti melakukan tiga perbuatan pidana.
   Pertama, tindak pidana korupsi menerima gratifikasi berupa uang senilai Rp 2,75 miliar. Perbuatan pertama Dhana tersebut diuraikan jaksa dalam dakwaan primer dan subsider. Dakwaan primer memuat Pasal 12 B ayat 1 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 65 ayat 1 KUHP, sedangkan dakwaan subsidernya memuat Pasal 11 undang-undang yang sama. Menurut jaksa, pada 11 Januari 2006, Dhana menerima uang dari Herly Isdiharsono senilai Rp 3,4 miliar yang ditransfer ke rekening Bank Mandiri Cabang Nindya Karya, Jakarta. Penerimaan uang 3,4 miliar itu berkaitan dengan penerimaan melawan hukum, yaitu mengurangi kewajiban pajak PT Mutiara Virgo. Kemudian, sebanyak Rp 1,4 miliar dari uang tersebut digunakan Dhana untuk membayar rumah atas nama Herly Isdiharsono. Sedangkan sisanya, Rp 2 miliar, dipakai untuk kepentingan pribadi Dhana. Adapun Herly ikut ditetapkan sebagai tersangka kasus ini. Atas bantuan para pegawai pajak tersebut, PT Mutiara Virgo hanya membayar Rp 30 miliar dari nilai Rp 128 miliar yang seharusnya. Adapun total uang yang dikucurkan PT Mutiara Virgo melalui direkturnya, Jhonny Basuki, ke para pegawai pajak tersebut mencapai Rp 20,8 miliar. Kejaksaan Agung pun menetapkan Jhonny sebagai tersangka kasus ini. Kemudian, pada 10 Oktober 2007, Dhana kembali menerima uang gratifikasi senilai Rp 750 juta dari pencairan cek perjalanan di Bank Mandiri Cabang Nindya Karya.
   Kedua, Dhana terbukti melakukan tindakan korupsi yang merugikan negara senilai Rp 1,2 miliar. Dhana terbukti melakukan atau turut serta melakukan perbuatan melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara. Dakwaan primer memuat Pasal 2 ayat 1 juncto Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Subsider, memuat Pasal 3 juncto Pasal 18 UU Tipikor. Atau, dakwaan kedua, dua, primer yang memuat Pasal 12 Huruf e Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan subsidernya memuat Pasal 12 huruf g undang-undang yang sama. Menurut tim JPU Kejaksaan Agung, Dhana bersama-sama dengan Salman Magfiron sengaja menggunakan data eksternal sebagai dasar perhitungan pajak PT Kornet Trans Utama, sehingga pajak yang harus dibayarkan perusahaan tersebut menjadi lebih tinggi. Dhana dan Salman pun mengadakan pertemuan dengan Direktur PT Kornet Trans Utama, Lee Jung Ho atau Mr Leo, yang intinya menawarkan bantuan untuk mengurangi nilai pajak yang harus dibayarkan perusahaan tersebut dengan meminta imbalan Rp 1 miliar. Namun, permintaan imbalan tersebut diacuhkan PT Kornet. Perusahaan itu kemudian mengajukan keberatan melalui Pengadilan Pajak yang hasilnya memenangkan PT Kornet. Atas kemenangan perusahaan tersebut, Dhana dianggap merugikan negara Rp 1,2 miliar atau paling setidak-tidaknya Rp 241.000.
   Ketiga, terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Menurut jaksa, Dhana menerima uang dari tindak pidana korupsi yang selanjutnya secara bertahap ditransaksikan dengan maksud untuk menyembunyikan asal-usul hartanya. Hal tersebut, kata Jaksa, dilakukan Dhana dengan sejumlah cara.
Cara pertama, dengan transaksi perbankan secara bertahap. Dhana memasukkan uang yang dimilikinya ke berbagai rekening, di antaranya, Bank CIMB Niaga Cabang Jakarta sekitar Rp 4 miliar, Bank HSBC Cabang Jakarta Kelapa Gading sekitar Rp 2,6 miliar, Bank Standard Chartered sekitar 271.000 dollar AS, Bank Mandiri Cabang Imam Bonjol Rp 474.000, CIMB Niaga Jakarta Sudirman sebesar Rp 54 juta dan Rp 30.000 dollar AS, kemudian Bank BCA Cabang Kalimalang sekitar Rp 4,1 miliar.
   Cara kedua, dengan membelanjakan uang yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi tersebut untuk membeli logam mulia seberat 1.100 gram yang kemudian disimpan dalam safe deposite box Bank Mandiri Cabang Mandiri Plaza, Jakarta.
  Cara ketiga, membelanjakan uangnya untuk membeli tanah dan properti. Keempat, menyembunyikan uang dalam beberapa mata uang asing. Kelima, membeli barang-barang berharga. Keenam, membeli kendaraan bermotor uang disembunyikan dengan cara seolah-olah sebagai barang dagangan PT Mitra Modern Mobilindo88, menginvestasikan hartanya pada bidang properti.
   Sebelumnya, dalam dakwaan, Dhana terancam maksimal 20 tahun penjara. Jaksa mengatakan, terdapat hal-hal yang memberatkan dan meringankan Dhana.  Adapun hal yang meringakan karena berusia relatif muda sehingga diharapkan memperbaiki perbuatan. Dhana akan mengajukan nota pembelaan atau pleidoi. Dhana Widyatmika akan mengajukan sendiri dan penasihat hukum juga akan mengajukan sendiri. Majelis hakim memberikan waktu satu minggu untuk mempersiapkan pleidoi. Sidang lanjutan akan dilaksanakan Senin 29 Oktober 2012.

3.    Kasus Bahasyim Assife
   Bahasyim adalah bekas Kepala Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak Jakarta VII DJP Kemkeu.
Bahasyim terbukti melakukan korupsi dengan menerima suap dari Wajib Pajak Kartini Mulyadi senilai Rp 1 milyar saat dirinya menjadi kepala kantor pada Februari 2005.
Selain itu, Bahasyim juga didakwa melakukan pencucian uang dengan modus memindahkan harta Rp932 miliar ke dalam rekening anak dan istrinya. Uang tersebut diduga berasal dari tindak pidana korupsi. Di tingkat pertama Bahasyim divonis 10 tahun dan di tingkat banding di Pengadilan Tinggi Tipikor Bahasyim divonis 12 tahun.

4.    Kasus PT Asian Agri Group
PT Asian Agri Group (AAG) adalah salah satu induk usaha terbesar kedua di Grup Raja Garuda Mas, perusahaan milik Sukanto Tanoto. Menurut majalah Forbes, pada tahun 2006 Tanoto adalah keluarga paling kaya di Indonesia, dengan kekayaan mencapai US$ 2,8 miliar (sekitar Rp 25,5 triliun).  Selain PT AAG, terdapat perusahaan lain yang berada di bawah naungan Grup Raja Garuda Mas, di antaranya: Asia Pacific Resources International Holdings Limited (APRIL), Indorayon, PEC-Tech,  Sateri International, dan Pacific Oil & Gas.Secara khusus, PT AAG memiliki 200 ribu hektar lahan sawit, karet, kakao di Indonesia, Filipina, Malaysia, dan Thailand. Di Asia, PT AAG merupakan salah satu penghasil minyak sawit mentah terbesar, yaitu memiliki 19 pabrik yang menghasilkan 1 juta ton minyak sawit mentah – selain tiga pabrik minyak goreng.

Awal Mula Kasus
Terungkapnya dugaan penggelapan pajak oleh PT AAG, bermula dari aksi Vincentius Amin Sutanto (Vincent) membobol brankas PT AAG di Bank Fortis Singapura senilai US$ 3,1 juta pada tanggal 13 November 2006. Vincent saat itu menjabat sebagai group financial controller di PT AAG – yang mengetahui seluk-beluk keuangannya. Perbuatan Vincent ini terendus oleh perusahaan dan dilaporkan ke Polda Metro Jaya. Vincent diburu bahkan diancam akan dibunuh. Vincent kabur ke Singapura sambil membawa sejumlah dokumen penting perusahaan tersebut. Dalam pelariannya inilah terjadi jalinan komunikasi antara Vincent dan wartawan Tempo.
Pelarian VAS berakhir setelah pada tanggal 11 Desember 2006 ia menyerahkan diri ke Polda Metro Jawa. Namun, sebelum itu, pada tanggal 1 Desember 2006 VAS sengaja datang ke KPK untuk membeberkan permasalahan keuangan PT AAG yang dilengkapi dengan sejumlah dokumen keuangan dan data digital.Salah satu dokumen tersebut adalah dokumen yang berjudul “AAA-Cross Border Tax Planning (Under Pricing of Export Sales)”, disusun pada sekitar 2002. Dokumen ini memuat semua persiapan transfer pricing PT AAG secara terperinci.
Modusnya dilakukan dengan cara menjual produk minyak sawit mentah (Crude Palm Oil) keluaran PT AAG ke perusahaan afiliasi di luar negeri dengan harga di bawah harga pasar – untuk kemudian dijual kembali ke pembeli riil dengan harga tinggi. Dengan begitu, beban pajak di dalam negeri bisa ditekan. Selain itu, rupanya perusahaan-perusahaan luar negeri yang menjadi rekanan PT AA sebagian adalah perusahaan fiktif.
Pembeberan Vincent ini kemudian ditindaklanjuti oleh KPK dengan menyerahkan permasalahan tersebut ke Direktorat Pajak – karena memang permasalahan PT AAG tersebut terkait erat dengan perpajakan. Menindaklanjuti hal tersebut, Direktur Jendral Pajak, Darmin Nasution, kemudian membentuk tim khusus yang terdiri atas pemeriksa, penyidik dan intelijen. Tim ini bekerja sama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan Kejaksaan Agung. Tim khusus tersebut melakukan serangkaian penyelidikan – termasuk penggeladahan terhadap kantor PT AAG, baik yang di Jakarta maupun di Medan.
Berdasarkan hasil penyelidikan  tersebut (14 perusahaan diperiksa), ditemukan Terjadinya penggelapan pajak yang berupa penggelapan pajak penghasilan (PPh) dan pajak pertambahan nilai (PPN). Selain itu juga “bahwa dalam tahun pajak 2002-2005, terdapat Rp 2,62 triliun penyimpangan pencatatan transaksi. Yang berupa menggelembungkan biaya perusahaan hingga Rp 1,5 triliun. mendongkrak kerugian transaksi ekspor Rp 232 miliar. mengecilkan hasil penjualan Rp 889 miliar. Lewat modus ini, Asian Agri diduga telah menggelapkan pajak penghasilan untuk badan usaha senilai total Rp 2,6 triliun. Perhitungan SPT Asian Agri yang digelapkan berasal dari SPT periode 2002-2005. Hitungan terakhir menyebutkan penggelapan pajak itu diduga berpotensi merugikan keuangan negara hingga Rp 1,3 triliun.
Dari rangkaian investigasi dan penyelidikan, pada bulan Desember 2007 telah ditetapkan 8 orang tersangka, yang masing-masing berinisial ST, WT, LA, TBK, AN, EL, LBH, dan SL. Kedelapan orang tersangka tersebut merupakan pengurus, direktur dan penanggung jawab perusahaan. Di samping itu, pihak Depertemen Hukum dan HAM juga telah mencekal 8 orang tersangka tersebut.

Kajian Hukum Sebuah Kasus
Dalam  persidangan di Pengadilan  Negeri Jakarta Pusat, ternyata diketahui bahwa Majelis Hakim Pengadilan menolak eksepsi dari Manajer Asian Agri Group yang diwakili oleh Pengacaranya. Eksepsi yang disampaikan Pengacara Asian Agri Group pada dasarnya menegaskan bahwa penyelesaian kasus dugaan penyelewengan pajak merupakan kewenangan Pengadilan Pajak karena merupakan persoalan atau sengketa pajak yang sudah diatur dalam undang-undang pajak.
Sengketa pajak yang muncul sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang tidak memuaskan Wajib Pajak harus diupayakan penyelesaiannya secara baik, sederhana, murah, dan cepat. Artinya, ada jalan penyelesaian secara kekeluargaan dengan musyawarah antara kedua belah pihak yang bersengketa dan tetap memperhatikan peraturan perpajakan.
Namun, Majelis Hakim menolak eksepsi Pengacara Asian Agri Group dan berpendapat bahwa kasus Asian Agri Group bukan merupakan sengketa pajak karena tidak adanya surat ketetapan pajak yang diterbitkan oleh  Direktorat Jenderal Pajak. Kalau sengketa pajak akan ada upaya hukum untuk menyelesaikannya, yaitu melalui upaya hukum  keberatan. Oleh karenanya, kasus Asian Agri Group bisa diadili oleh Pengadilan Negeri.
Penolakan eksepsi inilah yang perlu mendapat kajian apakah benar argumentasi hukum yang dibangun Majelis Hakim hingga kasus dugaan penggelapan pajak bisa dipidana karena tidak adanya surat ketetapan pajak yang diterbitkan Direktorat Jenderal Pajak sebagai dasar adanya sengketa pajak. Kalau permasalahan pajak dibawa dalam ranah hukum  pidana, tentu menjadi kontradiktif terkait proses administrasi pajak yang tujuan utamanya mengumpulkan uang pajak. Pilihan memidanakan Wajib Pajak atau memprioritaskan penerimaan tentu menjadi politik kepentingan pemerintah. Untuk itu, kajian komprehensif pemidanaan atas pajak, patut menjadi perhatian serius agar tidak terjadi keresahan terus menerus di kalangan dunia usaha dan pegawai pajak.
Seperti diuraikan diatas, dalam banyak literatur disebutkan bahwa hukum pajak tergolong sebagai hukum publik, termasuk hukum administrasi/tata usaha negara. Jalur hukum administrasi (hukum pajak) mempunyai cara penyelesaiannya sendiri sesuai dengan aturan yang sudah ditegaskan dalam  undang-undang pajak yang mengaturnya. Jika seperti itu, menyelesaikan persoalan administrasi pajak dengan cara pidana menjadi kontradiktik ketika negara membutuhkan dana pajak sebagai sumber pembiayaan pembangunan yang tiap tahun jumlahnya terus naik (meningkat). Persoalan memidana Wajib Pajak jelas membawa keresahan tersendiri bagi pelaku dunia usaha. Artinya, pelaku usaha menjadi takut dipidana ketika persoalan penghitungan pajak yang cukup rumit akan dipersoalkan menjadi persoalan berindikasikan tindak pidana.
Pendapat pakar hukum dalam kasus Asian Agri Group di atas, menarik untuk dikaji dan dipahami dengan baik oleh semua aparat penegak hukum terutama aparat Kepolisian, Kejaksaan, maupun Hakim. Kesamaan visi memandang pajak tidak boleh dipidana karena merupakan bagian dari hukum administrasi, harus menjadi perhatian bersama.
Hukum pajak sebagai bagian hukum tata usaha negara memang bersumber pada peristiwa perdata, yang apabila dilanggar dapat diancam dengan pelanggaran pidana. Dalam hukum pajak memuat unsur-unsur :
·         Hukum tata negara dan hukum tata usaha negara.
·         Hukum perdata;
·         Hukum pidana. Menyamakan persepsi demikian memang tidak mudah. Diperlukan satu koordinasi yang kuat. Presiden selaku pimpinan eksekutif sebaiknya memimpin proses koordinasi demikian.
Penyelesaian Kasus PT Asian Agri Grup
PT Asian Agri Group (AAG) telah diduga melakukan penggelapan  pajak (tax evasion) selama beberapa tahun terakhir sehingga menimbulkan kerugian negara senilai trilyunan rupiah. Belum lagi kelar penyidikan, berkembang wacana mengenai penyelesaian kasus itu di luar pengadilan (out of court settlement). Hal ini sangat menggelisahkan kalangan yang menginginkan tegaknya hukum dan terwujudnya keadilan, tanpa pandang bulu. Sangat ironis jika para penjahat kelas teri ditangkapi, ditembaki, disidangkan, dan dimasukkan bui, sementara itu penjahat kerah putih (white collar criminal) yang mengakibatkan kerugian besar pada negara justru dibiarkan melenggang karena kekuatan kapital nya.
Meski peraturan perundangan mengancam pelaku tindak pidana perpajakan dengan sanksi pidana penjara dan denda yang cukup berat, nyatanya masih ada celah hukum untuk meloloskan para penggelap pajak dari ketok palu hakim di pengadilan. Pasal 44B UU No.28/2007 membuka peluang out of court settlement bagi tindak pidana di bidang perpajakan. Ketentuan itu mengatur bahwa atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan. Dengan demikian, kasus berakhir (case closed) jika wajib pajak yang telah melakukan kejahatan itu telah melunasi beban pajak beserta sanksi administratif berupa denda.
Ketentuan hukum nyatanya begitu lunak dalam mengatur tindak pidana perpajakan. Peluang out of court settlement dimungkinkan bagi segala jenis tindak pidana perpajakan. Peluang itu tidak hanya berlaku untuk “Perlawanan Pasif terhadap Pajak”, yaitu perlawanan yang tidak dilakukan secara sadar atau disertai niat dari warga masyarakat untuk merintangi aparat pajak dalam melakukan tugasnya. Penghentian penyidikan dan penyelesaian di luar sidang juga berlaku untuk “Perlawanan Aktif terhadap Pajak” yang perbuatannya dilakukan lewat cara-cara ilegal dan langsung ditujukan pada fiskus/pemerintah.
Jadi, penyelesaian kasus tindak pidana perpajakan oleh Asian Agri Group meski masuk kategori “Perlawanan Aktif terhadap Pajak” sekalipun – tetap dapat diselesaikan di luar sidang pengadilan. Dengan demikian, harapan kita bergantung pada Menteri Keuangan dan Jaksa Agung sebagai pihak yang paling menentukan dalam proses penyelesaian tindak pidana perpajakan ini.
Asian Agri akhirnya benar - benar melayangkan surat keberatan kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terkait Surat Ketetapan Pajak (SKP) kepada 14 anak perusahaannya. Perusahaan perkebunan sawit milik taipan Sukanto Tanoto ini melayangkan surat keberatan setelah membayar senilai Rp 969,675 miliar atau 49% dari total pajak terutang yakni mencapai Rp 1,95 triliun.
Sedari awal Asian Agri memang berniat banding atas penetapan SKP yang ditetapkan DJP. Namun mereka harus terlebih dulu membayar setengah dari total utang pajak. Asian Agri melayangkan keberatan karena menganggap SKP yang mencapai Rp 1,95 triliun tidak sesuai, sebab melebihi total keuntungan perusahaannya yang pada 2002-2005 hanya Rp 1,24 triliun. Total utang pajak plus denda Asian Agri sendiri mencapai Rp 1,959 triliun.
General Manajer Grup Asian Agri, Freddy Widjaya mengatakan, surat keberatan SKP telah disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat wajib pajak terdaftar. "Sesuai dengan jangka waktu tiga bulan sejak tanggal penerbitan SKP." ujarnya kepada KONTAN di Jakarta, Rabu (4/9).
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP, Kismamtoro Petrus mengakui telah menerima surat keberatan Asian Agri pada 28 Agustus 2013. DJP wajib memberikan keputusan atas keberatan itu paling lambat dua belas bulan.
Meski keberatan, Asian Agri tetap harus membayar sisa utang pajak seperti dalam SKP. Jika Asian Agri tidak melunasi seluruh tagihan SKP setelah jatuh tempo, DJP dapatmelakukan penagihan aktif berupa teguran, penerbitan surat paksa, penyitaan dan blokir rekening hingga pelelangan aset.

5.    Kasus Herry Setiadji, Indarto Catur Nugroho dan Slamet Riyana
Mereka adalah tiga bekas pegawai Kantor Pajak Kebayoran Baru III DJP Kemkeu. Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan masing-masing vonis 5 tahun penjara.
Mereka terbukti memeras perusahaan wajib pajak, yakni PT Electronic Design and Manufacturing International (EDMI) terkait restitusi lebih bayar pajak atas Pajak Penghasilan (PPh) Badan Tahun 2012 dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) masa Februari 2013 sekitar Rp 3 milyar. Ketiga orang ini memeras PT EDMI untuk membayarkan uang sejumlah Rp 450 juta, agar kelebihan pajak bisa dikembalikan.


6.    Kasus Penunggakan Pembayaran Pajak di Kota Bandung
Pemerintah Kota  Bandung lamban dalam menyelesaikan piutang pajak tahun 2011 yang berjumlah sekitar Rp3,8 Miliar. Jika melihat akumulasi dari tahun 2006 hingga  2011, piutang pajak itu mencapai angka Rp 23,4 Miliar. Berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) yang diterima Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), piutang itu berasal dari sektor perhotelan  Rp344 juta, restoran Rp 539 juta, hiburan Rp 72 juta, reklame Rp 469 juta, parkir Rp59 juta, BPHTB Rp2,1 miliar dan air tanah 135juta.
Dinas Pendapatan Daerah juga  harus berkoordinasi dengan dinas-dinas yang mengeluarkan izin usaha.Kedepan,  untuk menghindari hal itu terulang, sebelum pengusaha menjalankan izin usahanya terlebih dahulu membayar pajak.

7.    Kasus Dugaan Suap Pejabat Ditjen Pajak
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menahan dua tersangka dalam kasus dugaan suap kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara pada Direktorat Jenderal Pajak, Selasa (22/11/2016).
Mereka adalah Country Director PT E.K Prima Ekspor Indonesia, R. Rajamohanan Nair dan Kasubdit Bukti Permulaan Direktorat Penegakan Hukum Ditjen Pajak Kementerian Keuangan, Handang Soekarno. Keduanya ditahan di Rumah Tahanan KPK.
Keduanya ditangkap terkait dugaan suap sebesar Rp 6 miliar. Uang tersebut diduga untuk menghilangkan kewajiban pajak PT E.K Prima Ekspor Indonesia sebesar Rp 78 miliar.
KPK mengamankan uang sejumlah 148.500 dollar AS atau setara Rp 1,9 miliar.
Adapun suap tersebut merupakan tahap pertama dari total Rp 6 miliar yang akan dibayarkan Rajamohanan kepada Handang.
Rajamohanan disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf (a) dan huruf (b) dan Pasal 13 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sementara, Handang disangkakan melanggar Pasal 12 huruf (a) dan huruf (b) serta Pasal 11 UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

8.    Kasus Tommy Hendratno
Tommy Hendratno adalah bekas Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi Kantor Pajak Sidoarjo, Jawa Timur. Ia terbukti menyalahgunakan kewenangannya dan menerima suap Rp280 juta terkait pengurusan restitusi atau lebih bayar miliki PT Bhakti Investama Tbk.
Dalam vonis PN Tipikor, Tommy terbukti melanggar Pasal 5 ayat 2 jo Pasal 5 ayat (1) huruf b UU Tipikor. Vonis Pengadilan Tipikor ini lebih rendah dari tuntutan JPU pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menuntut mantan Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi Kantor Pajak Pratama (KPP) cabang Sidoarjo ini lima tahun penjara dan denda sebesar Rp50 juta subsider dua bulan kurungan. Jaksa menyatakan Tommy Hendratno terbukti pada dakwaan kedua, yakni melanggar Pasal 5 ayat 2 jo pasal 5 ayat 1 huruf b Undang-undang Nomor 31 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Tommy terbukti menerima uang senilai Rp280 juta dalam tas hitam dari James Gunardjo melalu Hendy Anuranto di sebuah restoran Padang yang berada kawasan Tebet, Jakarta Selatan pada 6 Juni 2012. Pemberian tersebut untuk membantu memberikan data klaim SPT pajak PT Bhakti Investama senilai Rp 3 miliar.

9.    Kasus Pargono Riyadi
Pegawai pajak Pargono Riyadi sudah ditetapkan sebagai tersangka karena dugaan pemerasan Asep Hendro. Inilah kasus pemerasan pertama yang diusut oleh lembaga antikorupsi tersebut.
Pargono adalah bekas PPNS di Kantor Wilayah DJP Jakarta Pusat. Pengadilan Tipikor Jakarta memvonis empat tahun enam bulan penjara. Ia terbukti memeras wajib pajak Asep Yusup Hendra Permana, pemiliki PT Asep Hendro Racing Sport (AHRS) sebesar Rp600 juta.
Menurut Jubir KPK, Johan Budi, pasal yang disangkakan kepada Pargono memang baru kali ini diterapkan. "Pasal itu memang baru diterapkan sekarang," jelas Johan di kantornya, Jl HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Kamis (11\/4\/2013). Dalam proses penyelidikan, KPK menemukan indikasi kuat jika Pargono memeras pengusaha otomotif Asep. Mantan pembalap nasional ini pun memang akhirnya dibebaskan. Kini KPK sedang menelusuri, apakah hanya Asep saja yang sudah diperas oleh Pargono. Termasuk sudah berapa kali Pargono memeras Asep.
Pargono dijerat dengan Pasal 12 huruf e atau Pasal 23 UU Pemberantasan Korupsi. Pasal itu mengatur mengenai pemerasan yang dilakukan penyelenggaran negara.

10.    Kasus Wilmar Group
Nama Wilmar Group identik sebagai juragan kelapa sawit dan produk turunannya di Indonesia. Sang pendirinya, Martua Sitorus, pun menjadi kaya raya dari roda dua usaha 67 perusahaan yang bernaung di bawahnya. Martua tercatat sebagai orang terkaya nomor tujuh di Indonesia menurut majalah Forbes, dengan kekayaan US$ 2 milyar atau sekitar Rp 22 trilyun. Namun, nama besar Wilmar Group itu belakangan tercoreng oleh laporan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) kepada Panitia Kerja (Panja) Mafia Perpajakn komisi III DPR. Ketua Panja Mafia Perpajakn, Tjatur Sapto Edy, menjelaskan bahwa pihaknya memang meminta PPATK untuk menelusuri transaksi-transaksi di bidang perpajakan yang mencurigakan, termasuk di dalamnya transaksi pajak Wilmar.
Menurut PPATK terdapat ekspor barang yang tidak didukung dokumen valid sekitar Rp 6 Trilyun. Selain itu ada pula kejanggalan penyimpanan uang restitusi pajak Wilmar periode 2009-2010. Nilainya Rp 3,5 trilyun, yang dimasukkan ke rekening pinjaman. Seharusnya, restitusi itu dipakai untuk pembayaran. Atas dua temuan itu, PPATK memperkirakan kerugian negara sebesar Rp 600 milyar dan 3,5 trilyun.
Temuan baru PPATK itu menjadi bukti anyar adanya dugaan permainan pajak oleh WNI dan MNA yang sebelumnya diungkap Mohammad Isnaeni, Kepala Kantor  Pelayanan Pajak Besar Dua. Isnaeni mengirim surat bersifat rahasia kepada Direktur Jenderal Pajak tentang kejanggalan pajak WNI dan MNA.
Kasus dugaan permainan pajak Wilmar itu juga sudah sampai ke meja Andi Nirwanto, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung. Bersama tim, Andi menelisik dugaan tindak pidana perpajakan itu.
Dari hasil pemeriksaan, tak ditemukan adanya unsur pidana, sehingga pada pertengahan tahun ini, Gedung Bundar mengembalikan berkas dugaan permainan pajak Wilmar itu ke Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak.
Pengembalian kasus pajak Wilmar ke Ditjen Pajak itu diiringi isu tak sedap yang memapar Gedung Bundar. Andi Nirwanto, diisukan menerima suap Rp 80 milyar dari Wilmar. Jaksa Agung Basrief pun melansir janji untuk memeriksa Jampidsus terkait isu suap tersebut. Dari hasil pemeriksaan internal yang dilakukan Basrief memastikan tak ada suap untuk Andi.
Kasus dugaan permainan pajak Wilmar itunjuga sudah sampai ke meja Andi Nirwanto, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung. Bersama tim, Andi menelisik dugaan tindak pidana perpajakan itu.

11.    Kasus Tindak Pidana Perpajakan Yang Diduga Dilakukan Dua Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Fadli Zon Dan Fahri Hamzah.
Mantan Penyidik Pegawai Negeri Sipil pada Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Handang Soekarno buka suara soal dugaan tindak pidana perpajakan yang diduga dilakukan dua Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Fadli Zon dan Fahri Hamzah. Dugaan pidana pajak yang melibatkan Fadli Zon dan Fahri Hamzah terungkap dalam persidangan terhadap Handang di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (10/5/2017).
Menurut Handang, dugaan tersebut berawal dari informasi intelijen. "Sumbernya adalah data dari analisis hasil kerja Direktorat Intelijen, saya sebagai Kasubdit Bukper menerima masukan dari laporan intelijen," kata Handang saat dikonfirmasi. Dalam persidangan, jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukan barang bukti berupa nota dinas yang dimiliki terdakwa Handang Soekarno. Nota dinas tersebut kemudian dibenarkan oleh Direktur Penegakan Hukum Ditjen Pajak, Dadang Suwarna, yang menjadi saksi untuk Handang. Nota dinas yang ditunjukan jaksa mencantumkan sejumlah nama wajib pajak, baik berupa perorangan maupun korporasi. Dua di antaranya adalah wajib pajak atas nama Fahri Hamzah dan Fadli Zon. Dalam nota dinas dijelaskan bahwa Fadli Zon diduga tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Tahunan PPh orang pribadi atas nama Fadli Zon, untuk tahun pajak 2013 ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama. Dalam catatan lain, Fadli Zon ditulis tidak menyampaikan SPT dari tahun 2011 sampai 2015. Selain, itu terdapat catatan atas nama wajib pajak Fahri Hamzah. Dalam nota dinas, Fahri diduga menyampaikan SPT Tahunan PPh orang pribadi yang isinya tidak benar atau tidak lengkap, untuk tahun pajak 2013 - 2014 ke KPP Pratama Jakarta Pesanggrahan. "Daftar harta 2014 berbeda dengan LHKPN dengan jumlah selisih Rp 4,46 miliar,"




BAB III
PENUTUP

1.    Kesimpulan
Seharusnya kasus sebelumnya seperti kasus Gayus, sudah menjadi pelajaran bagi Indonesia bahwa lemahnya perhatian yang dilakukan pihak yang berwenang terhadap kasus pajak sebelumnya. Kasus pajak ini bisa mencoret nama baik pegawai pajak lain yang tidak melakukan penggelapan pajak seperti yang dilakukan Gayus Tambunan, Dhana Widyatmika, Bahasyim Assife, Herry Setiadji, Indarto Nugroho dan Slamet Riyana, Pejabat Ditjen Pajak, Tommy Hendratno, Pargono Riyadi. Tidak semua pegawai pajak melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan para penggelap pajak yang disebut kan di atas.
Diharapkan kasus penggelapan lain, diharapkan dapat ditindaklanjuti dengan cepat tanpa menunggu lama.

2.    Saran
Adapun saran yang dapat kami sampaikan mengenai kasus kecurangan pajak yaitu sebagai berikut :
1.      Pemerintah harus tegas dalam menangani kasus kecurangan pajak yang terjadi di Indonesia
2.      Penghindaran Pajak merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi penerimaan Pajak Pertambahan Nilai. Dalam hal ini, seharusnya Kantor Pelayanan Pajak lebih meningkatkan kembali pengawasannya kepada para wajib pajak agar tidak melakukan hal-hal yang dianggap merugikan negara dengan tidak mengikuti peraturan undang-undang perpajakan yang ada.
3.      Penggelapan Pajak dan Penghindaran Pajak merupakan faktor yang mempengaruhi besarnya penerimaan Pajak Pertambahan Nilai. Hal ini harus menjadi perhatian lebih bagi Kantor Pelayanan Pajak dikarenakan Pajak Pertambahan Nilai merupakan penerimaan negara yang cukup besar. Maka dari itu, seharusnya Kantor Pelayanan Pajak lebih meningkatkan lagi.










DAFTAR PUSTAKA

http://www.cnnindonesia.com/nasional/20161122162351-12-174492/rentetan-kasus-korupsi-yang-menjerat-pegawai-pajak/
http://muhammadbayu05.blogspot.co.id/2016/04/penggelapan-pajak.html
http://nasional.kompas.com/read/2017/05/10/18232701/dugaan.pidana.pajak.fahri.hamzah.dan.fadli.zon.berawal.dari.intelijen.pajak
http://news.detik.com/berita/2218088/kasus-pargono-riyadi-kasus-pemerasan-pertama-yang-diusut-kpk













MAKALAH SERTA CARA PENYELESAIAN PENGGUNAAN APLIKASI E-FAKTUR

TUGAS FINAL SOFTWARE AKUNTANSI II E-FAKTUR PAJAK Oleh : HUMAIRA 201513254 KONSENTRASI ADMINISTRASI KEUA...